Oleh: Pdt.Dr.Benny Giay*)
Efesus
6:10 - 12 & Matius 10:16
Pdt.Dr. Benny Giay |
Dalam catatan sebelumnya saya katakan bahwa menurut pengamatan saya, Gereja kita dan pemerintah seperti menutup mata terhadap kenyataan Papua penuh kekerasan. Ini beda dengan kultur Papua (yg saya sbutkan seblumnya )dan Kristus. Dalam pandangan Kristus, para muridNya (Matius 10:16) dikirim ke dunia di tengah-tengah serigala. Artinya penggambaran terhadap realita begitu itu apa adanya. Tidak ditutup-tutupi. Bahkan cenderung keras. seperti dikatakan Matius.
Gereja
dikirim ke tengah-tengah serigala. Ini sama dengan para ahli ilmu sosial yang
menggambarkan manusia sebagai serigala bagi sesamanya. Dan menurut saya, Papua
dalam 50 tahun terakhir menghadapi kekerasan seperti itu dalam segala bidang.
oleh karena itu, mengikuti tradisi para penulis kitab suci, saya sering
menggunakan istilah Papua sebagai 'situs keketasan', 'situs penindasan', atau
'situs ratapan anak negeri tiada akhir'.
Ini penting karena (a) dengan begitu umat bisa
mengambil tanggung jawab menyikapi kenyataan penuh kkrasan tu sehingga tidak
terlena oneh pesan-pesan gereja dan pmerintah yang menyampaikan harapan-harapan
sesaat kepada umat yang hidup dalam Papua yang telah bertahun-tahunt menjadi
'situs pertumpahan darah'; (b) begitu juga bagi gereja Papua yang barangkali
segan menelanjangi kenyataan penuh kekerasan apa adanya lantaran terjebak
obsesi gereja itu sendiri untuk menyebarkan kabar gembira tetapi dengan
konsekuensi menutup mata terhadap kenyataan penuh kekerasan itu. (c) ini juga
bisa dmikian karena gereja juga ikut terpengaruh (terkooptasi) bahasa-bahasa
propaganda pembangunan dari pemerintah.
Tapi apa sebenarnya akar persoalan dari konflik atau kekerasan yang terus terjadi di Tanah Papua ini? Menurut saya akar persoalan yang mendasari konflik dan kekerasan di Tanah Papua itu tidak lain dari sjarah relasi dua bangsa yang sudah berlangsung berabad-abad jauh sebelum Indonesia menduduki Tanah Papua awal tahun 1960an. Ini berarti beberap hal.
Pertama,
masalah sejarah relasi dua bangsa pra-1960an tidak setara Indonesia yg mngklaim
diri 'beradab' dan bhwa Papua sudah berabad-abad berkontak dengan Indonesia
sehingga dengan klaim itu dia berhak untuk menduduki atau menguasai Papua.
Sebaliknya, Papua yg menganggap kontak Indonesia dengan Papua sebagai sejarah
perampokan dan perbudakan yang dikenal sebagai slaven raid dan hongietocht.
Dalam konteks itu Papua adalah korban dari perampokkan dan perbudakkan.
Kedua, setelah Indonesia menduduki Papua ia mulai menyebar propaganda. Pihaknya berjanji akan mengangkat orang Papua supaya bisa sejajar dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Sementara Papua menertawakan janji-janji dan propaganda itu dengan merujuk kepada perilaku pejabat Indonesia di Papua tahun 1960an yang merampok dan mengangkut semua barang-barang peninggalan Belanda ke Jawa dengan kapal-kapal sambil meneror, mengejar, dan membunuh masyarakat yang dicurigai sebagai kaki tangan Belanda.
Ketiga, pemerintah Indonesia mengeluarkan perintah untuk membakar buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan Papua baik dalam bahasa melayu maupun bahasa Belanda.
Keempat,
memberlakukan karantina politik dengan memaksa penandatanganan perjanjian Kota
Baru (sekarang Jayapura) tentang pelarangan partai-partai politik yang sedang
berjalan saat itu dan menerima agenda politik Indonesia: PEPERA tidak perlu
diadakan karena Papua sudah merdeka tahun 1945 bersama dengan seluruh rakyat
Indonesia.
Kelima, sejak September 1966 pemerintah Indonesia mengeluarkan dokumen-dokumen rahasia menuduh gereja Papua mendukung separatisme.
Keenam,
menggunakan paramedis untuk menyuntik peserta PEPERA yang dicurigai akan
menyuarakan aspirasi masyarakat untuk menolak bergabung dengan Indonesia.
Ketujuh,
membentuk dan membiayai kelompok-kelompok yang melaksanakan terror dan
mempengaruhi masyarakat untuk mendukung agenda politik Indonesia, contohnya
Barisan Merah Putih.
Kedelapan,
kebijakkan pemerintah Indonesia tidak hanya menghilangkan atau menghapus
separatisme tetapi juga menyuburkan separatisme dengan menyiapkan undang-undang
makar yang dengan mudah menjerat para aktivis.
Kesembilan, kesemua langkah diatas dilakukan dalam satu kerangka pembangunan yang ditetapkan Jakarta yang disebut Joko Affandi sebagai kebijakan 'bias pendatang'. Dalam keranga demikian Papua dianggap tidak ada, kalaupun ada ia tidak d beri pilihan lain selain menerima atau melawan. Alias Papua dipaksa untuk menerima kebijakan asimilasi total. Tidak ada kemauan politik untuk mempraktikkan semboyan Bhineka Tunggal Ika di Tanah Papua.
Belakangan,
kebijakan ini diiringi dengan apa yang disebut Wibawanto Nugroho 'degenerative
public policy' yang mencerminkan 'degenerative politik Jakarta terhadap Papua'
Artinya bahwa Jakarta secara sistematis dan terencana merancang kebijakan untuk
terus memperburuk kondisi sosial, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan
kesehatan. Ini yang sering kali disebut para pengamat kekerasan ideologis atau
simbolis.
Menurut saya akar persoalan Papua itu ada di situ. Ini sejumlah hal terkait kultur dan ideologi Jakarta yang mendasari kekerasan dalam segala bidang di Tanah Papua 50 tahun terakhir. Bagaimana kita melihat ini sebagai gereja? Menurut saya ini demonik yang tidak memberi ruang bagi keberlangsungan kehidupan seperti yang dimaksudkan Tuhan. Dan ini yang menurut saya disebutkan Rasul Paulus dalam Efesus 6: 10-12.
Lalu bagaimana kita hadapi permasalah ini? Pertama, saya pikir kita selalu ada pengharapan sebagaimana yang kita temukan dalam (a) ajaran Alkitab; (b) kultur Papua; (c) dalam sejarah gereja; dan (d) dalam diri kita masing-masing.
Tentu
harapan seperti itu harus disertai kerja kras dan tanggung jawab kita; baik
sebagai pribadi maupun sebagai organisasi. Kedua, selama ini menurut saya kita
di Papua terus melihat ke belakang dan menyalahkan masa lalu; kita seperti terpenjara
oleh masa lalu.
Dalam
kesempatan ini saya mengajak kita untuk melihat ke belakang tapi juga membuka
mata terhadap realita sekarang dan melihat ke depan; lakukan upaya-upaya untuk
mewujudkan harapan-harapan generasi lalu yang belum diwujudkan. Ketiga, ini
berarti kita membaca kembali masa lalu dalam rangka membangun masa depan dengan
membaca perkembangan Papua sekarang sebagai tanda-tanda zaman (Matius 16:2-3)
utk mmbangun masa depan. Lebih konkrit Lagi saya ajak kita semua bisa pikirkan
tim kecil yang bisa mencari kemungkinan untuk mempertimbangkan langkah-langkah
ini baik di Belanda maupun di Tanah Papua melibatkan semua pihak yang prihatin
terhadap Papua pada masa lalu dan sekarang ini.
Penulis adalah Ketua Sinode Kingmi Papua