Oleh: Dominggus Pigai*)
"Berdamailah dengan bangsa dan rakyat Yang Sengsara, Supaya Bencana dan Petaka
Tidak Lagi Menimpa dan Memporak Porandakan Kehidupan Manusia di bumi"
Tampaknya hubungan
sejarah konflik antara Indonesia dan papua belum berakhir. Karena itu, rakyat
Papua terus meminta Jakarta untuk dapat duduk secara bersama-sama dalam sebuah
ruang demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia guna
penyelesaian konflik yang telah berusia ratusan tahun.
Namun, Jakarta tetap
bersikukuh untuk mempertahankan otoritas negara ketimbang melihat sebuah proses
dan mekanisme negara untuk menyelesaikan konflik secara terbuka. Sejumlah paket
Konstitusi diluncurkan kepada rakyat Papua sebagai solusi Konflik Jakarta atas
Papua. Klimaks dari rentetan seluruh kebijakan Negara terhadap Papua bermuara
pada UU. No.21/2001, Unit Percepatan Pembangunana Papua Barat (UP4B) dan
Undang-undang Otonomi Plus.
Meskipun, mendapat kecaman dan protes terhadap sejumlah Kebijakan Nasional dari
rakyat Papua, namun Pemerintah terus memaksakan kehendaknya untuk diterima dan
direfleksikan sebagai bagian dari sebuah solusi rakyat Papua. Jakarta hanya
melihat syarat kenegaraan secara politik lebih diutamakan dibandingkan syarat
manusia sebagai komponen pembentuk negara. Bisakah sebuah negara menjadi kuat
bilamana rakyatnya keropos dan hancur-berantakan ?
Ide-ide kolektif lokal rakyat Papua untuk penyelesaian konflik berupa
perundingan, Dialog, Referendum sebagai media masih dipandang sebelah mata.
Bahkan Pemerintah Jakarta menutup hati, pikiran dan memberi respon masyarakat
Papua. Dalam situasi demikian, system rekayasa kekerasan dan konflik
dikonstruksikan oleh pihak-pihak tertentu dengan maksud untuk memperpanjang
penderitaan dan kekerasan di atas Tanah Papua.
Patut dipikirkan bahwa pikiran rakyat yang diperjuangkan dalam dinamika sejarah
untuk perubahan kolektivitas disikapi atas dasar pemikiran yang berpijak pada
kebebasan sosial pada hukum negara yang tidak memutlakan kekuasaan politik
otoritarian.
Pemikiran tersebut terkadang berhadapan dengan relasi kekuasaan yang
menggunakan instrument Negara untuk menjebak rakyat pada kekuasaan Negara
sebagai suatu kesepakatan elitisentris.
Meskipun perdebatan politik dalam ranah konflik harus menjumpai posisi dan
peran kepentingan yang tidak berimbang. Sejumlah perbedaan-perbedaan dapat
dirundingkan tanpa harus menemui sebuah kesepakatan bersama dalam ranah Negara
demokrasi.
Pilihan tepat untuk berdebat dalam kepentingan yang berbeda tidak serta merta
karena sebuah kebenaran hakiki yang musti dipersandingkan tetapi
perbedaan-perbedaan yang memblokir jalannya demokrasi dapat dilihat sebagai
suatu warisan sejarah yang terpendam.
Di Papua kehidupan yang adil dan damai diukur dengan sebuah regulasi local
sebagai turunan dari konstitusi Negara. Pemikiran yuridis politis tersebut
tidak melibatkan dan mengakomodir sebuah kesepakatan social rakyat Papua dalam
dinamika iklim demokrasi berbasis kearifan local sebagai media rakyat yang
memenuhi standar Hak Azasi Manusia yang berlaku universal.
Tetapi, pemikiran rakyat Papua dibungkam. Pemerintah belum cukup kuat dan gesit
dalam memperlunak dinamika konflik secara laten dan kontinyu di Papua.
Semuanya, dipadukan dalam instrument Negara.
Perspektif negara
secara formal yang bercampur curiga menghadapi dan menghampiri rakyatnya dalam
bernegosiasi patut dilihat sebagai suatu media politik yang potensial dalam
membangun kesepahaman bersama.
Rakyat yang dipandang
memiliki pikiran lain atau berbeda pandangan masih dilihat “lain dari pada yang
lain”.Kondisi demikian menunjukan negara Indonesia sedang sakit dan mengalami
krisis dalam hidup berdemokrasi, Krisis dalam penegakkan Hak Azasi Manusia,
Krisis percaya diri dalam berhadapan dengan penyelesaiaan segala bentuk
konflik, Krisis kepemimpinan bapak bangsa yang bisa melihat secara utuh keluhan
bangsa dan rakyat “yang lain” sebagai alternative demokrasi.
Sikap kedewasan bapak bangsa belum tampak. Rakyat dikucilkan bahkan
diperlakukakan dengan kekerasan. Angkat senjata untuk menyelesaikan konflik
sudah tidak pantas dipertontonkan dalam kehidupan Negara Indonesia yang sudah
merdeka dalam menjaga perdamaian dunia.
Para pihak-pihak yang
bertikai musti diajak untuk berunding untuk meminta penyelesaian masalah.
Beberapa negara sudah mulai memprakarsai gerakan-gerakan perundingan damai
dalam rangka menjaga keutuhan dan martabat kehidupan manusia (Suriah, Thailand,
Pakista dll). Suatu record dunia yang patut diberi acung jempol dalam
pembelajaran akan demokrasi.
Terpenjara dengan sebuah ideologi kekuasaan (bukan ideology Negara) akan
menghancurkan keutuhan kehidupan manusia di bumi. Karena Ideologi kekuasaan
yang dibangun dengan sebuah sifat ketamakan tentunya akan mengorbankan sesama
manusia. Ideologi kekuasaan tidak pernah menyelesaikan masalah. Ideologi
tentang kekuasaan sudah usang dan tidak pantas dipertahanakan.
Bersikap optimis dalam rangka menyelesaikan krisis kemanusiaan akibat
konflik/kekerasan yang bersifat vertical akan menjadi trend dalam kehidupan
berbangsa. Darah-darah manusia yang tak berdosa tumbal sia-sia akibat sebuah
rezim yang kekuasaan mempertahankan posisi ideologi kekuasaan. Sudah
semestinya, kesadaran untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini dilakukan
secara bersama-sama dalam spiritualitas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tetesan darah tak bernoda telah mengundang kemarahan Murka Sang Khalik untuk
membumi hanguskan manusia yang memangsa sesama manusia (homo homini lupus).
Negara bangsa mana yang akan kokoh dan kuat bertahan menahan badai dan murka
Sang Khalik. Tunduk untuk mengasihi manusia secara damai atau bertahan
mempertahankan ideologi kekuasaan suatu Negara yang usianya hanya seumur jagung
yang tak pernah abadi.
Penulis: Tokoh Agama di Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar