Kamis, 27 Februari 2014

JAKARTA BELUM MAMPU MEMBUAT DAMAI DI PAPUA

Oleh: Dominggus Pigai*)

                        "Berdamailah dengan bangsa dan rakyat Yang Sengsara, Supaya Bencana dan Petaka Tidak Lagi Menimpa dan Memporak Porandakan Kehidupan Manusia di bumi"


Tampaknya hubungan sejarah konflik antara Indonesia dan papua belum berakhir. Karena itu, rakyat Papua terus meminta Jakarta untuk dapat duduk secara bersama-sama dalam sebuah ruang demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia guna penyelesaian konflik yang telah berusia ratusan tahun.
Namun, Jakarta tetap bersikukuh untuk mempertahankan otoritas negara ketimbang melihat sebuah proses dan mekanisme negara untuk menyelesaikan konflik secara terbuka. Sejumlah paket Konstitusi diluncurkan kepada rakyat Papua sebagai solusi Konflik Jakarta atas Papua. Klimaks dari rentetan seluruh kebijakan Negara terhadap Papua bermuara pada UU. No.21/2001, Unit Percepatan Pembangunana Papua Barat (UP4B) dan Undang-undang Otonomi Plus.

Meskipun, mendapat kecaman dan protes terhadap sejumlah Kebijakan Nasional dari rakyat Papua, namun Pemerintah terus memaksakan kehendaknya untuk diterima dan direfleksikan sebagai bagian dari sebuah solusi rakyat Papua. Jakarta hanya melihat syarat kenegaraan secara politik lebih diutamakan dibandingkan syarat manusia sebagai komponen pembentuk negara. Bisakah sebuah negara menjadi kuat bilamana rakyatnya keropos dan hancur-berantakan ?


Ide-ide kolektif lokal rakyat Papua untuk penyelesaian konflik berupa perundingan, Dialog, Referendum sebagai media masih dipandang sebelah mata. Bahkan Pemerintah Jakarta menutup hati, pikiran dan memberi respon masyarakat Papua. Dalam situasi demikian, system rekayasa kekerasan dan konflik dikonstruksikan oleh pihak-pihak tertentu dengan maksud untuk memperpanjang penderitaan dan kekerasan di atas Tanah Papua.


Patut dipikirkan bahwa pikiran rakyat yang diperjuangkan dalam dinamika sejarah untuk perubahan kolektivitas disikapi atas dasar pemikiran yang berpijak pada kebebasan sosial pada hukum negara yang tidak memutlakan kekuasaan politik otoritarian. 


Pemikiran tersebut terkadang berhadapan dengan relasi kekuasaan yang menggunakan instrument Negara untuk menjebak rakyat pada kekuasaan Negara sebagai suatu kesepakatan elitisentris. 

Meskipun perdebatan politik dalam ranah konflik harus menjumpai posisi dan peran kepentingan yang tidak berimbang. Sejumlah perbedaan-perbedaan dapat dirundingkan tanpa harus menemui sebuah kesepakatan bersama dalam ranah Negara demokrasi. 


Pilihan tepat untuk berdebat dalam kepentingan yang berbeda tidak serta merta karena sebuah kebenaran hakiki yang musti dipersandingkan tetapi perbedaan-perbedaan yang memblokir jalannya demokrasi dapat dilihat sebagai suatu warisan sejarah yang terpendam. 

Di Papua kehidupan yang adil dan damai diukur dengan sebuah regulasi local sebagai turunan dari konstitusi Negara. Pemikiran yuridis politis tersebut tidak melibatkan dan mengakomodir sebuah kesepakatan social rakyat Papua dalam dinamika iklim demokrasi berbasis kearifan local sebagai media rakyat yang memenuhi standar Hak Azasi Manusia yang berlaku universal.


Tetapi, pemikiran rakyat Papua dibungkam. Pemerintah belum cukup kuat dan gesit dalam memperlunak dinamika konflik secara laten dan kontinyu di Papua. Semuanya, dipadukan dalam instrument Negara.

Perspektif negara secara formal yang bercampur curiga menghadapi dan menghampiri rakyatnya dalam bernegosiasi patut dilihat sebagai suatu media politik yang potensial dalam membangun kesepahaman bersama. 

Rakyat yang dipandang memiliki pikiran lain atau berbeda pandangan masih dilihat “lain dari pada yang lain”.Kondisi demikian menunjukan negara Indonesia sedang sakit dan mengalami krisis dalam hidup berdemokrasi, Krisis dalam penegakkan Hak Azasi Manusia, Krisis percaya diri dalam berhadapan dengan penyelesaiaan segala bentuk konflik, Krisis kepemimpinan bapak bangsa yang bisa melihat secara utuh keluhan bangsa dan rakyat “yang lain” sebagai alternative demokrasi.

Sikap kedewasan bapak bangsa belum tampak. Rakyat dikucilkan bahkan diperlakukakan dengan kekerasan. Angkat senjata untuk menyelesaikan konflik sudah tidak pantas dipertontonkan dalam kehidupan Negara Indonesia yang sudah merdeka dalam menjaga perdamaian dunia.


Para pihak-pihak yang bertikai musti diajak untuk berunding untuk meminta penyelesaian masalah. Beberapa negara sudah mulai memprakarsai gerakan-gerakan perundingan damai dalam rangka menjaga keutuhan dan martabat kehidupan manusia (Suriah, Thailand, Pakista dll). Suatu record dunia yang patut diberi acung jempol dalam pembelajaran akan demokrasi.

Terpenjara dengan sebuah ideologi kekuasaan (bukan ideology Negara) akan menghancurkan keutuhan kehidupan manusia di bumi. Karena Ideologi kekuasaan yang dibangun dengan sebuah sifat ketamakan tentunya akan mengorbankan sesama manusia. Ideologi kekuasaan tidak pernah menyelesaikan masalah. Ideologi tentang kekuasaan sudah usang dan tidak pantas dipertahanakan.


Bersikap optimis dalam rangka menyelesaikan krisis kemanusiaan akibat konflik/kekerasan yang bersifat vertical akan menjadi trend dalam kehidupan berbangsa. Darah-darah manusia yang tak berdosa tumbal sia-sia akibat sebuah rezim yang kekuasaan mempertahankan posisi ideologi kekuasaan. Sudah semestinya, kesadaran untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini dilakukan secara bersama-sama dalam spiritualitas kemanusiaan yang adil dan beradab.


Tetesan darah tak bernoda telah mengundang kemarahan Murka Sang Khalik untuk membumi hanguskan manusia yang memangsa sesama manusia (homo homini lupus).

Negara bangsa mana yang akan kokoh dan kuat bertahan menahan badai dan murka Sang Khalik. Tunduk untuk mengasihi manusia secara damai atau bertahan mempertahankan ideologi kekuasaan suatu Negara yang usianya hanya seumur jagung yang tak pernah abadi.





Penulis: Tokoh Agama di Papua
 

Tidak ada komentar: