Jumat, 26 Desember 2014

Indonesia: Joint Inquiry Needed Into Papua Killings


Credible Impartial Investigation, Witness Protection Crucial

(Jakarta, December 25, 2014) – President Joko Widodo of Indonesia should create a joint fact-finding team to ensure a credible, impartial investigation into the December 8, 2014 deadly shootings in the remote town of Enarotali in Papua, Human Rights Watch said today. The team should include the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) and the military, as well as the police, to investigate the incident, in which at least five peaceful protesters died of gunshot wounds.

Currently, there are three separate official investigations into the shootings: by the police, by the national human rights commission, and by an informal military-and-police effort. The military has not cooperated with the Komnas Human Rights Commission inquiry, and Indonesia’s 1997 Law on Military Courts blocks civilian investigators from access to military personnel at the scene of crimes. A joint investigation is necessary to ensure that police and rights agency investigators can question military personnel who were present during the incident, Human Rights Watch said.

“The Papua inquiry has been stymied because civilian investigators can’t interview the soldiers who were at the scene,” said Phelim Kine, deputy Asia director at Human Rights Watch. “A joint probe with police, military, and human rights investigators is crucial to ensure that all information is collected and that the findings will be taken seriously.”

The 1997 Law on Military Courts provides that only military investigators, prosecutors, and judges have jurisdiction to investigate and prosecute crimes by Indonesian military personnel. The system lacks transparency, independence, and impartiality, and has long failed to properly investigate and prosecute alleged serious human rights abuses by members of the military, Human Rights Watch said. In a number of cases over the past decade, the military justice system has dispensed extremely lenient sentences to soldiers convicted of serious human rights abuses against civilians.

The Indonesian government should also deploy the official Witness and Victim Protection Agency to Enarotali to protect witnesses, victims, and victims’ families from possible security force reprisals for cooperating with investigators, Human Rights Watch said. Papuan journalists and rights defenders told Human Rights Watch that numerous witnesses are afraid to discuss the December 8, 2014 incident. A December 22 Komnas Human Rights Commission preliminary report about the incident found that witnesses were “unwilling to testify” due to apparent concerns about reprisals.

Witnesses have told Human Rights Watch that security forces in Enarotali shot dead five protesters on December 8. A sixth protester died of gunshot wounds on December 10, the media reported. At least 17 other protesters were wounded and required hospitalization. Witnesses said that the shooting occurred during a peaceful protest by about 800 Papuan young men, women, and primary school children on Enarotali’s Karel Gobay football field in front of the local police station (Polsek) and Koramil office. Komnas HAM reported that the protesters had been demanding an explanation for the beating of several children by some soldiers the previous evening.

The police ordered the protesters to disperse and then struck them with batons and sticks when they refused, witnesses said. A witness told Human Rights Watch that he saw six or seven Indonesian officers chasing protesters, who ran to a nearby airfield. Between 9:30 and 9:40 a.m., the witnesses heard gunshots and saw security force personnel, including police Mobile Brigade (Brimob) officers, bearing rifles. It is unclear if the police fired any warning shots before firing into the crowd.

The December 8 shootings are emblematic of the routine human rights abuses that security forces carry out with impunity in Papua, in the extreme eastern of the Indonesian archipelago. Over the last 15 years, Human Rights Watch has documented hundreds of cases in which police, military, intelligence officers, and prison guards have used unnecessary or excessive force when dealing with Papuans taking part in protests. While a handful of military tribunals have been held in Papua for security force personnel implicated in abuses, the charges have been inadequate and soldiers who committed abuses continue to serve.

The Indonesian government has deployed military forces in Papua since 1963 to counter a long-simmering independence movement and restricts access to international media, diplomats, and nongovernmental groups by requiring special access permits, which are rarely granted. Tensions heightened in Papua following the February 21, 2013 attack on Indonesian military forces by suspected elements of the armed separatist Free Papua Movement. The attack resulted in the deaths of eight soldiers, the highest death toll for Indonesian military forces in the province in more than 15 years.

“The climate of fear in Papua inhibits local people from publicly discussing security force abuses,” Kine said. “The Witness and Victim Protection Agency can help Enarotali residents who wish to give their account to do so with greater safety.”

For more Human Rights Watch reporting on Indonesia, please visit:

http://www.hrw.org/asia/indonesia

For more Human Rights Watch reporting on the Enaratoli shooting, please visit:
http://www.hrw.org/news/2014/12/10/indonesia-security-forces-kill-five-papua

To read “Commentary: A Tale of Two Shootings,” please visit:
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/opinion/tale-two-shootings/

For more information, please contact:

In Jakarta, Andreas Harsono (English, Indonesian): +62-815-950-9000 (mobile); or 
harsona@hrw.org. Follow on Twitter @andreasharsono
In New York, Phelim Kine (English, Mandarin
): +1-212-810-0469 (mobile); or kinep@hrw.org. Follow on Twitter @PhelimKine

Minggu, 14 Desember 2014

APARAT TNI/POLRI TEMBAK MATI 7 WAGA SIPIL DI PANIAI, ASIAN PEASANT COALITIAN: KELAKUAN SANGAT BIADAP



Logo, The Asian Peasant Coalition (APC). FOTO/ILS

The Asian Petani Koalisi (APC) mengutuk keras pembantaian pada malam peringatan dari hari HAM Internasional di Papua Barat. Tujuh siswa SMA ditembak secara brutal atau dibantai oleh militer dan polisi Indonesia di Enarotali, Kabupaten Paniai Papua Barat pada tanggal 9 Desember pekan kemarin.  

Militer dan polisi Indonesia tanpa ampun melepaskan tembakan pada kerumunan orang, sebagian besar pemuda dan anak-anak yang berdemonstrasi menentang penyiksaan lain anak berusia 12 tahun oleh tentara Indonesia.

Pelanggaran HAM yang terjadi di tempat lain di Asia terhadap petani berjuang untuk tanah. Pelanggaran sistemik ini hak asasi manusia harus dihentikan.

"Pembantaian adalah cara lain pemerintah untuk membungkam orang-orang Papua memprotes mega-proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang mencakup 1,2 juta hektar. Selain MIFEE, pemerintah Indonesia juga melindungi perusahaan pertambangan besar seperti Freeport: Gold Mining yang telah beroperasi di Papua selama beberapa dekade. Impunitas di banyak masyarakat pedesaan yang telah sangat militarised untuk melindungi investasi mereka ", menyatakan Rahmat Ajiguna, APC wakil sekretaris jenderal.

"Menurut Kilusang Magbubukid ng Pilipinas (KMP), petani Filipina menegaskan untuk reformasi tanah asli dan perubahan sosial sering mengalami pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan oleh pemerintah dan negara pasukan Filipina. Di bawah Presiden Benigno Simeon Aquino III, lebih dari seribu aktivis dan pemimpin organisasi rakyat yang progresif ini telah tewas sementara ratusan tetap incarcinerated dan mendekam di penjara-penjara karena kasus dibuat ", tambah Rahmat, juga Sekjen Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA ) yang berbasis di Indonesia.

Kami memegang jawab pemerintahan Jokowi atas pembunuhan di Papua Barat. Kami menuntut hukuman dari polisi lokal Kabupaten Paniai, kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Barat dan kepala polisi nasional Indonesia (Kapolri).

Kami juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan kekerasan terhadap para petani di Takalar, Sulawesi Selatan dan kekerasan serupa di bagian lain Indonesia. (JacksonIkomouw)

Kamis, 11 Desember 2014

PUISI: SUARA TANGISAN NEGERI PAPUA



Aku terbangun dari tidurku yang panjang
entah sadar atau tidak
Aku mendengar suara-suara itu bermunculan kembali di telinggaku
mereka memanggil-manggil namaku
Aku mulai binggung sendiri dan bertanya
kenapa mereka selalu memanggil namaku?
Kenapa harus aku bukan mereka?
Kemudian pula dengan tidak sadarkan diri
Aku melihat begitu banyak orang menjerit sambil menanggis histeris dan berkata: Bapak tolonglah kami, kami tidak sanggup menghadapi cobaan ini sendirian
Di malam itu aku tidak tau harus berbuat apa
Seluruh badanku turut membeku bagaikan orang yang telah meninggal dunia.
Dalam ketidaksadaran diriku itu,
Aku melihat begitu banyak orang menjerit dimana-mana
dan aku benar-benar tidak tau siapa mereka sebenarnya
Aku ingat betul malam itu tanggal 10 November 2014
Di malam itu, aku tidak dapat tidur dengan tenang seperti biasa.
Karena mereka selalu memanggil namaku
Akupun mulai berusaha untuk mengenal mereka lebih dekat
Aku mulai mendekati mereka secara perlahan-lahan
Dalam perjalanan itu,
aku mendengar mereka berkata: Hai pemerintah indonesia sekalian mengapa kalian memperlakukan kami begini?
kami ini bukan bonekannya kalian yang selalu dan seenaknya memperlakukan kami seperti barang mainan
Ingat ,kami ini manusia
kami sama seperti kalian
Kami ini bangsa papua mengapa kalian selalu menindas, membunuh, mengintimidasi, bahkan memperkosa kami
Asalkan kalian tau kami ini hanyalah pelajar
kami tidak tau apa-apa
Mengapa kalian selalu memperlakukan kami begini?
Setelah aku mendekati mereka secara perlahan-lahan
OHH.....TUHAN...
Akupun mulai menanggis histeris dan air matapun tak henti-hentinya
membanjiri pipiku
Dalam hatiku aku berkata: Terima kasih KALIAN SEMUA karena selalu memanggil namaku
Aku bangga menjadi bagian dari kalian dan
Aku sangat bangga pula disebut sebagai NEGERI PAPUA.


KARYA: ADRIANA.YOGI

For Immediate Release.Indonesia: Security Forces Kill Five in Papua

(Jakarta, December 10, 2014) – Indonesian authorities should promptly and impartially investigate the apparent use of unnecessary lethal force by security forces against peaceful protesters in Papua on December 8, 2014, Human Rights Watch said today.

Police and military personnel fired live ammunition at about 800 peaceful demonstrators, including women and children, in the town of Enarotali in Panai regency. Five protesters – Simon Degei, 18; Otianus Gobai, 18; Alfius Youw, 17; Yulian Yeimo, 17; and Abia Gobay (age unknown) 
– died from gunshot wounds. At least 17 others, including five primary school children, were wounded and required hospitalization. Human Rights Watch interviewed two witnesses to the incident, as well as journalists and a human rights activist in towns closest to this remote area.

“The Indonesian government needs to investigate why security forces found it necessary to fire into a crowd of peaceful protesters,” said Phelim Kine, deputy Asia director at Human Rights Watch. “Ordinary Papuans are too often victims of security force abuse for which no one is ever punished.” 

The protest was sparked by a brawl several hours earlier, on the evening of December 7, when members of Tim Khusus 753 (Special Team 753), a unit attached to the Nabire-based Army Battalion 753, assaulted 12-year-old Yulianus Yeimo. The attack was apparent retaliation after a group of children and young people, including Yeimo, shouted at a Tim Khusus 753 vehicle to turn on its headlights as it passed the group, whose members were decorating a Christmas tree and nativity scene in Enarotali’s Ipakiye neighborhood.

The Tim Khusus 753 vehicle soon returned with another truck filled with Indonesian soldiers, who chased the group and caught and beat Yeimo with their rifle butts. Yeimo’s condition is unknown. The others alerted nearby adults, who began throwing stones at the military personnel, prompting them to flee.

Witnesses told Human Rights Watch that on the morning of December 8, about 800 Papuan young men, women, and primary school children gathered on Enarotali’s Karel Bonay football field in front of the local police station (Polsek) and military command (Koramil) to demand an explanation for the attack on Yeimo. The protesters, some carrying ceremonial Papuan hunting bows that have a purely ritual function, expressed their grievance through a traditional Papuan waitadance, which involves shouting, running in circles and mimicking birdsong.

The police ordered the protesters to disperse and then struck them with batons and sticks when they refused to comply, witnesses said. The Papua police chief Inspector General, Yotje Mende, told the media that his officers were only “securing” their station because it was under attack. A witness told Human Rights Watch that he saw six or seven Indonesian officers chasing protesters, who ran to a nearby airfield. Between 9:30 and 9:40 a.m., the witnesses heard gunshots and saw security force personnel, including police Mobile Brigade (Brimob) officers, bearing rifles. Some of the shots were fired from the nearby police and military posts, about 50 meters from the field, witnesses said. It was only around seven minutes, according to a witness in the field. It is unclear if the police fired any warning shots before firing into the crowd.

Indonesian government officials offered conflicting accounts of the violence. Security Affairs Minister Tedjo Edhy Purdijatno said that the security forces had warned the protesters to disperse and that security forces had fired into the crowd “to defend themselves” from “a bunch of people fighting the authorities.” The Papua police spokesman, Sulistyo Pudjo, indicated that the violence was the security forces’ response to an attack on local police and military posts, but said he was unaware of the circumstances of the protesters’ deaths. "Suddenly there were victims, and we did not know who shot them,” Pudjo told Agence France Press.

Witnesses said that when the shooting stopped, women and children on the scene immediately called for emergency medical assistance. They helped bring the wounded to the public hospital in the town of Madi, about 6 kilometers from Enarotali. The witnesses said they did not see any police or military personnel provide medical assistance to the wounded or help them to get to the hospital. There are no reports of injuries to security forces on the scene.

The United Nations Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, which set out international law on the use of force in law enforcement situations, provide that security forces shall as far as possible apply nonviolent means before resorting to the use of force. Whenever the lawful use of force is unavoidable the authorities should use restraint and act in proportion to the seriousness of the offense. Lethal force may only be used when strictly unavoidable to protect life. Governments shall ensure that arbitrary or abusive use of force and firearms by law enforcement officials is punished as a criminal offense.

Human rights abuses remain rife in Papua, located in the extreme eastern of the Indonesian archipelago. Over the last 15 years, Human Rights Watch has documented hundreds of cases in which police, military, intelligence officers, and prison guards have used unnecessary or excessive force when dealing with Papuans taking part in protests. While a handful of military tribunals have been held in Papua to try security force personnel implicated in abuses, the charges have beeninadequate and soldiers who committed abuses continue to serve in the military.

The Indonesian government has deployed military forces in Papua since 1963 to counter a long-simmering independence movement and restricts access to international media, diplomats, and nongovernmental groups by requiring them to obtain special access permits, which are rarely granted. Tensions heightened in Papua following the February 21, 2013 attack on Indonesian military forces by suspected elements of the armed separatist Free Papua Movement. The attack resulted in the deaths of eight soldiers, the most in the area in more than 15 years.

President Joko Widodo, who succeeded President Susilo Bambang Yudhoyono on October 20, 2014, pledged to lift thepunitive restrictions on international access to Papua. On June 5, during the election campaign, when asked by local residents if, as president, he would open access to Papua for foreign journalists and international organizations, Widodo replied, “Why not? It’s safe here in Papua. There’s nothing to hide.” Widodo has yet to lift those access restrictions.

“The killing of five teenagers in Enarotali is just the latest atrocity by Indonesian security forces in Papua,” Kine said. “President Widodo should recognize that Papua is anything but ‘safe’ for its residents until the government puts an end to the routine and often-deadly abuses by the Indonesian forces stationed there.”

For more Human Rights Watch reporting on Indonesia, please visit:
http://www.hrw.org/asia/indonesia


For more information, please contact:
In Jakarta, Andreas Harsono (English, Indonesian): +62-815-950-9000 (mobile); or harsona@hrw.org. Follow on Twitter @andreasharsono
In New York, Phelim Kine (English, Mandarin): +1-212-810-0469 (mobile); or kinep@hrw.org. Follow on Twitter @PhelimKine
In San Francisco, Brad Adams (English): +1-347-463-3531 (mobile); or adamsb@hrw.org. Follow on Twitter @BradAdamsHRW
In Washington, DC, John Sifton (English): +1-646-479-2499 (mobile); or siftonj@hrw.org. Follow on Twitter @johnsifton

Rabu, 10 Desember 2014

KOALISI PEDULI HAM PAPUA: ORANG PAPUA TIDAK ADA LAGI HAK HIDUP DI INDONESIA

“APARAT TNI & POLRI MENEMBAK MATI 5 SISWA SMU, 1 MAHASISWA; 2 SISWA SD, 2 SISWA SMP (LUKA TEMBAK) SERTA 13 MASYARAKAT DAN MAHASISWA (LUKA TEMBAK).

Massa aksi Damai yang bergabung dalam Koalisi Peduli Ham Papua, di Jakarat Pusat. (FOTO/MG)
10 Desember 2014. Ratusan rakyat dan mahasiswa Papua yang bergabung dalam Koalisi Peduli Hak Asasi Manusia (HAM) Papua menggelar aksi demo damai, di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jalan Thamtin City, Jakarta Pusat, untuk menyikapi kekerasan aparat TNI/Polri di tanah Papua, khususnya di Paniai.

Aktivis Papua Marthen Goo, mengatakan, Kekerasan selalu terjadi di Papua sejak 1960-an hingga kini. Kali ini, Aparat Gabungan (TNI/Polri) kembali melakukan penembakan terhadap 5 Siswa SMU, 1 Mahasiswa; 2 Siswa SD, 2 Siswa SMP serta 13 masyarakat dan mahasiswa di Paniai, Papua, 8/12/2014.
Namun. lanjutnya, Pada pukul 00.15WIT, Aparat (Timsus 753) sebelumnya menyiksa Yulianus sampai mati, dan membongkar pondok Natal dengan berkata “Di sini tidak ada TUHAN Yesus dan Bunda Maria, bongkar saja pondok Natal”. 

Keesokan harinya, masyarakat berbondong-bondong mendatangi Koramil TNI di Enaro untuk meminta pertanggungjawaban atas penyiksaan dan penganiayaan Yuli serta meminta pertanggungjawaban atas dibongkarnya pondok natal dan dikeluarkannya bahasa negative tentang TUHAN yang disembah umat Kristiani.

Sayangnya, Kata  Marthen, kedatangan masyarakat justru disambut tembakan brutal oleh TNI dan Polri. Korban pun berjatuhan. Sementara, Kapolres Paniai, Humas Polda Papua, dan Kepala Pusat Penerangan TNI menstigma kejahan kemanusiaan dengan dugaan OPM dan Kriminal. Stigmatisasi ini kata kunci yang selalu dipakai oleh TNI dan Polri untuk membantai dan membunuh rakyat Papua. Puluhan ribu rakyat dibunuh sejak 1960-an, dan kata kunci sebagai upaya legalitas adalah Stigmatisasi, “Jelasnya.

“Orang Papua tidak ada lagi hak hidup di Indonesia. Kehidupan orang Papua sangat terancam di Indonesia. Karenanya, kami membutuhkan suara semua pemerhati kemanusiaan untuk memperjuangkan hak hidup orang Papua yang jumlah orang Papua tidak lebih dari 1 juta, yang kini diambang kepunahan karena kekerasan dan kejahatan kemanusiaan , “Tutur Goo.

“Kami juga mendesak kepada PBB agar PBB Segera melakukan Perlindungan atas upaya Pemusnaan terhadap Orang Asli Papua di Papua.  (Jackson Ikomouw)

TNI AKAN TAMBA KODAM DI PAPUA, AMP: BAGIAN DARI UPAYA PEMUSNAAN TERHADAP ORANG PAPUA

Penyiksaan oleh Aparat TNI terhadap warga sipil di Paniai, Papua. (FOTO/Ils)
BANDUNG, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko bilang, untuk memperkuat pertahanan serta mempermudah koordinasi, TNI berencana menambah Komando Daerah Militer (Kodam) di Papua. "Penembahan Kodam di Papua, sesuai rencana strategi (renstra) sudah siapkan. Tapi yang pertama di Manado sudah mulai jalankan. Harapan kita untuk Papua tahun depan sudah bisa dijalankan," ujar Moeldoko di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (10/12/2014), seperti dikutip Antara.

Panglima TNI menjelaskan, alasan pembentukan Kodam baru sebab luasnya wilayah, namun menyulitkan pengendalian bagi seorang pemimpin di mana Pangdam harus mengendalikan seluruh prajuritnya yang sangat jauh.

"Ini menyulitkan. Rentang kendali itu dipenuhi dengan membangun Kodam baru. Ada beberapa pilihan lokasi, di antaranya di Sorong dan masih ada pilihan-pilihan," jelasnya.

Mantan Pangdam Siliwangi ini menegaskan, tidak ada kepentingan politik dan maksud apapun dalam pembangunan Kodam baru di Papua. 

"Tidak sama sekali. Ini murni untuk kepentingan pertahanan. Tidak punya maksud apapun. TNI hanya ingin aspek pertahanan bisa terpenuhi di wilayah itu, sehingga apabila terjadi situasi yang tidak kita inginkan kendali operasi itu betul-betul bisa dijaga dengan baik," tukasnya

Sementar itu, Juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bandung, wenas Kobogau, menyikapi pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko, Ini kata Wenas, Upaya aparat TNI melakukan pendekatan militer di Papua serta untuk melakukan pemusnaan terhadap orang Papua melalui pendkatan militer tersebut.

“Aparat militer Indonesia harus sadar, kekejaman demi kekejaman masih terus dilakukan, baru kemarin, Senin, (8/12/14) saja, Kata Wenas, gabungan aparat TNI/Polri melakukan pembunuhan masal terhadap 5 warga sipil, dan melukai 17 orang di Paniai Papua.

"Ini bukti kejahatan yang dilakukan aparat militer Indonesia di Paniai.  

Oleh karenanya, stop bangun Kodam di seluruh tanah Papua. Kami rakyat bangsa Papua minta pemerintah Indonesia, untuk memberikan penentukan nasib sendiri, sebab itu adalah solusi demokratis bagi rakyat bangsa Papua. (Jekson Ikomouw/antara)

FOTO AKSI DAMAI: Mabes TNI/Polri Tanggung Jawab, Soal Penembakan Terhadap 6 Warga Sipil dan Melukai 17 Warga lainnya, di Paniai

Mahsiswa Papua di Bandung, usai aksi di Gedung Sate. (FOTO/Yan)
Bandung,– Rabu, 10 Desember 2014. Mahasiswa Papua di Bandung, gelar aksi demo damai untuk menyikapi sejumlah kekejaman aparat TNI/Polri di seluruh tanah Papua khusus yang baru, Senin, (8/12/14) kemarin, terjadi di Kabupaten Paniai, hingga aparat TNI/Polri menembak mati 5 warga sipil dan melukai belasan warga Paniai.

Bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Se-Dunia. Terlihat depan gedung sate Bandung dipadati ribuan massa buruh. Pada tempat yang sama, mahasiswa Papua yang bergabung dalam Solidaritas Untuk Papua juga menggelar aksi. Pantauan media ini.

Juru Bicara, Markus Medlama, menyatakan, “Aparat TNI/Polri, stop bunuh-bunuh orang Papua. Kemudian, lanjutnya, Pemerintah Jokowi-JK bertanggung jawab soal pembunuhan terhadap rakyat Papua di Paniai.

“Kami minta KOMNAS HAM sikapi masalah di Paniai dengan serius, hingga tuntas “Tegas Markus.

Namun. Kata Markus, Tindakan pembunuhan masal yang dilakukan telah melanggar Undang-undang Hak Asasi Manusia, pasaL 28a. Oleh karenanya, kami minta kapada pemerintahan Jokowi-JK untuk mengadili aparat TNI/Polri yang melakukan penembakan terhadap rakyat Papua di Paniai. (Yance Wenda)


















Mahasiswa Papua: Tembak Mati 6 Warga Sipil dan 17 Kritis adalah Upaya Pemusnaan Orang Papua oleh Pemerintahan Indonesia

Puluhan massa aksi, yang bergabung dalam Solidaritas Untuk Papua (SUP) usai aksi demo damai di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat. Ketika foto bersama di depan asrama Papua, "Kamasan 2" Bandung.
Bandung, - Terkait penembakan yang dilakukan aparat gabungan Polisi dari Kepolisian Resort (Polres) Paniai, Kepolisian Daerah (Polda Papua) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Tim Khusus dari Batalyon 753 Nabire, Kodam XVII Cenderawasih Papua di kabupaten Paniai, yang menewaskan 5 warga sipil dan melukai 17 orang lainnya, senin (8/12) lalu. 

Di sikapi serius mahasiswa Papua. Pantauan Suara Independen, Siang tadi, Rabu, (10/12)  massa  yang bergabung dalam Solidaritas Untuk Papua (SUP) menggelar aksi demo damai, di jalan Diponegoro, depan gedung Sate, Bandung Jawa Barat. 

Salah satu orator dalam aksinya, mengatakan, hari ini  bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Se-Dunia, oleh karenanya kami mahasiswa Papua kembali turung jalan untuk menyampaikan kekejaman militer Indonesia kepada publik, yang selalu terjadi di seluruh tanah Papua, khusus penembakan yang baru kemarin dilakukan aparat militer Indonesia di Kabupaten Paniai itu. 

Juru Bicara SUP, Markus Medlama menyatakan, “Kami mengutuk tindakan aparat militer Indonesia terhadap warga sipil di Paniai Papua yang tembak mati 5 warga sipil dan melukai belasan lainnya. Hal tersebut, sangat tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, sebagai aparat negara.

Selain itu,Kata Markus, Awal terjadi penembakan, Pada malam hari 7 Desember 2014 kemarin, seorang anak laki-laki menjaga Posko Natal yang didirikan oleh warga di pinggir jalan yang melintasi Jalan Raya Enarotali-Madi. Pada saat itu, sebuah mobil patroli milik Polres Paniai dari arah Enarotali menuju Madi. Kebutulan mobil tersebut tak menyalahkan lampu sebagaimana biasanya. 

Sontak saja anak laki-laki yang menjaga Posko Natal ini menegur, sebagai tanda peringatan. "Woee, kalau jalan malam itu harus nyalakan lampu," kata anak laki-laki seperti disampaikan keluarga, “Jelas Mahasiswa Papua, Jurusan Teologi itu.

“Ironisnya, Aparat TNI/Polri menodai hari raya bagi umat kristen di Dunia. Tindakan aparat militer Indonesia, sungguh sangat tidak manusiawi, serta menginjak ideologi Pancasilah dan Undang-undang dengan tindakan brutal yang dilakukan kemarin” Tegasnya. 

Namun, Pemerintah Kabupaten Paniai, serta Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla segara bertanggung jawab, dan secepatnya proses pelaku pembunuhan terhadap warga sipil yang tak bersalah .

Sebab, Kata Medlama,  “Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan kemarin, telah melanggar konstitusi negara Indonesia, pada Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 28. 

Selain itu, Komisi Hak Asasi Manusia mengambil langka untuk tangani masalah pembunuhan tersebut dengan serius hingga tuntas. (Jekson Ikomou)

Senin, 08 Desember 2014

PELURUH PANAS MILITER INDONESIA TEMBAK MATI WARGA SIPIL DI PANIAI. INI FOTONYA.

Add caption
Gabungan aparat Indonesia yang tugas di Kabupaten Paniai Papua. Dikabarkan menembak mati warga sipil dan anak Sekolah di dekat lapngan Karel Gobai. Penembakan terjadi sekitar pukul 10.00 Wit, Senin (8/12/2014) pagi tadi.













Sabtu, 06 Desember 2014

Ini 17 Tuntutan Komunitas Pekerja Papua Kepada PT. Freeport McMoRan Inc


Aser Gobai Bersama Rekan-Rekannya. (FOTO/JI)
TIMIKA, Untuk menyikapi kondisi kerja di lingkungan PT Freeport Indonesia yang belum normal sampai saat ini maka pekerja Papua yang tergabung dalam Komunitas Pekerja Papua SPKEP SPSI Kabupaten Mimika membuat Pernyataan Sikap.

Berikut Pernyataan Sikap Komunitas Pekerja Papua SPKEP SPSI Kabupaten Mimika yang didukung dengan tanda tangan lebih dari 1000 pekerja Papua dan telah di kirim kepada pimpinan perusahan.


No               : 001/KPP-SPKEP SPSI/XII/2014
Lamp           : 1 (satu) Berkas.
Perihal          : PERNYATAAN SIKAP KOMUNITAS PEKERJA PAPUA
SPKEP SPSI KABUPATEN MIMIKA

Kepada Yth :

1. Chairman of the Board Freeport McMorran Copper & Gold/ FCX
2. Presiden Direktur PT.Freeport Indonesia
3. Komite Executive (ESCOM) PT. Freeport Indonesia
4. Kepala Divisi/Departemen PT.Freeport Indonesia
5. Pemegang Saham PT. Freeport Indonesia
6. Komisaris PT.Freeport Indonesia
7. Pimpinan Perusahaan Privatisasi dan Kontraktor

Di_ Tembagapura, Jakarta dan Phoenix AZ,USA.

Dengan Hormat,

Dengan mempertimbangkan situasi, kondisi dan dinamika yang terjadi akhir-akhir ini di lingkungan perusahaan dan segala potensi/dampak yang mungkin terjadi dikemudian hari, maka kami dari “KOMUNITAS PEKERJA PAPUA SPKEP SPSI KABUPATEN MIMIKA” sebagai sebuah wadah komunitas pekerja yang beranggotakan seluruh pekerja Tujuh Suku dan Papua yang bekerja di lingkungan PTFI dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut :

PERNYATAAN SIKAP KOMUNITAS PEKERJA PAPUA SPKEP SPSI KABUPATEN MIMIKA

Pertama;  Bahwa Hubungan Industrial dan Hak Ulayat memiliki ruang yang terpisah, penyelesaian masalah hubungan industrial diselesaikan antara serikat Pekerja dan Perusahaan sedangkan masalah Hak Ulayat diselesaikan antara Hak Ulayat dan Perusahaan.

Kedua;  Pelaku Hubungan Industrial menurut undang-undang Ketenagakerjaan no. 13 Tahun 2003 pada pasal 102-105 adalah Pengusaha/Perusahaan, Pekerja/Serikat Pekerja dan Pemerintah.

Ketiga;  Kami dari Pekerja 7 suku dan Papua yang tergabung dalam “KOMUNITAS PEKERJA PAPUA SPKEP SPSI KABUPATEN MIMIKA”, Mendukung penuh dialog dan Hasil Kesepakatan; Bersama antara PUK SPKEP SPSI (PTFI, PTKPI, PTPJP) dengan Bapak James R. Moffett CEO of BOD Freeport/FCX di Jakarta pada tanggal 07 Nopember 2014 dan 17 Nopember 2014, serta mendukung semua pelaksanaan dari kesepakatan terbentuknya Tim Arbitrase sebagai bentuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara Pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja dan Perusahaan di kemudian hari.

Keempat; Sehubungan dengan tuntutan Hak Ulayat adalah suatu hal yang wajib diperhatikan secara serius oleh Perusahaan, dan “KOMUNITAS PEKERJA PAPUA SPKEP SPSI KABUPATEN MIMIKA” mendukung sepenuhnya.

Kelima; “KOMUNITAS PEKERJA PAPUA SPKEP SPSI KABUPATEN MIMIKA” meminta kepada Perusahaan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Pengusaha Binaan PTFI guna mengembangkan usaha dan Bisnisnya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat lokal.

Keenam: Mendukung berlangsungnya operasional perusahaan PT Freeport Indonesia yang lebih baik dan lebih aman bagi seluruh pekerja yang sedang diperjuangkan oleh PUK SPKEP SPSI sebagai wadah resmi Pekerja.

Ketujuh:  Meminta agar semua kecelakaan tambang yang merenggut nyawa Pekerja diusut secara tuntas dan hasil investigasinya diumumkan ke publik agar tidak menimbulkan beda pemahaman serta mempertimbangkan dengan serius rekomendasi dari pihak-pihak terkait diantaranya; Rekomendasi dari KOMNAS HAM tentang pertanggungjawaban longsornya tambang Biggosan pada tanggal 14 Mei 2013.

Kedelapan; Persoalan hilangnya nyawa manusia adalah persoalan yang sangat serius, sebagaimana prinsip-prinsip perusahaan bahwa keselamatan kerja adalah nomor satu dan karyawan adalah MITRA UTAMA Perusahaan. Namun dengan hilangnya korban nyawa Pekerja 34 orang dalam kurung waktu kurang-lebih satu tahun, diluar dari kejadian sebelumnya adalah merupakan suatu keperihatinan yang sangat mendalam, sehingga kami menuntut adanya upaya-upaya pencegahan terulangnya tragedi yang sama dikemudian hari. Dan sudah seharusnya ada pertanggung-jawaban dari pihak-pihak terkait atas kejadian tersebut.

Kesembilan;  Meminta kepada pihak-pihak yang tidak terkait dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial didalam Perusahaan agar tidak ikut campur-tangan terhadap permasalahan tersebut dengan membawa-bawah nama pemilik hak ulayat, 7 suku, etnis, agama atau kelompok dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesepuluh;  Kami mengutuk dan menolak dengan tegas tindakan-tindakan provokasi yang mengganggu keamanan, Ketertiban dan ketenangan ditempat kerja dan barak-barak penginapan pekerja di lingkungan perusahan PT Freeport Indonesia dengan cara; Intimidasi, Pemukulan, Pengancaman, Pengusiran dan Pemaksaan terhadap Pekerja yang dilakukan oknum-onum, sekelompok orang yang mengatas-namakan Tujuh Suku dan Papua dengan tujuan untuk berusaha membatalkan semua Kesepakatan yang sudah disepakati dengan Bapak James R Moffett (Chairman Of BOD FCX ) dan PUK SPKEP SPSI ( SPSI PTFI, SPSI PTKPI, DAN SPSI PTPJP).

Kesebelas; Kami mengutuk dan menolak dengan tegas tindakan-tindakan provokasi untuk mengganggu keamanan di kota Timika yang dilakukan oleh Forum Komunitas Peduli PT Freeport Indonesia dengan melakukan penyegelan Sekretariat PUK SPKEP SPSI PTFI di jalan Budi Utomo, dan mengganggu aktivitas di Sekretariat PUK SPKEP SPSI PTFI di Tembagapura dengan membawa massa dengan tujuan untuk mengadu-domba.

Keduabelas;  Kami mengutuk dengan keras tindakan-tindakan pengancaman terhadap keselamatan para Fungsionaris PUK SPKEP SPSI yang memperjuangkan Kesejahteraan Pekerja dan Keluarganya, dimana hasil perjuangannya dinikmati oleh semua Pihak.

Ketigabelas;  Kami meminta Kepada Bapak KAPOLRES Mimika mengambil tindakan tegas terhadap pelaku pengancaman dan tindakan kriminal pemalangan Sekretariat PUK SPKEP SPSI PTFI di Jalan Budi Utomo yang sudah dilaporkan beberapa waktu yang lalu.

Keempatbelas; Kami meminta kepada semua pihak agar berhenti memprovokasi massa yang tidak memahami persoalan internal perusahaan dengan pekerja. Dan tidak memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok dengan cara pengerahan massa yang kurang memahami persoalan yang terjadi agar tidak terjadi konflik horizontal dan gangguan terhadap keamanan serta ketertiban dan kenyamanan pekerja dan masyarakat secara umum.

Kelimabelas;
Kami meminta dengan tegas kepada pimpinan perusahaan agar segera membayar upah/gaji pekerja yang belum dibayarkan dan juga membayar Tunjangan Hari Raya seperti biasanya.

Keenambelas; Kami menolak dengan tegas apabila pihak perusahaan mendatangkan pekerja baru untuk menggantikan pekerja.

Ketujuhbelas:
Kami meminta agar ada Jaminan Keamanan untuk pekerja dapat kembali bekerja secara aman dan merasa nyaman berada di lingkungan perusahaan PT.Freeport Indonesia.

Demikian surat pernyataan sikap ini yang kami buat atas kesepakatan Pekerja Tujuh Suku dan Papua yang tergabung dalam “KOMUNITAS PEKERJA PAPUA SPKEP SPSI KABUPATEN MIMIKA” untuk menjadi perhatian pimpinan perusahaan.






Koordinator,

ASER GOBAI,ST ( 081240005222 )




Sekretaris,

YONATAN IYAI,SE