Peluncuran buku
Filep Karma Seakan Kitorang Setengah
Binatang
Benny Giay bersama tahanan politik Papua, Filep Karma (Foto: Ist) |
Jayapura, 1
Desember 2014 – Presiden Joko Widodo harus hentikan semua diskriminasi dan
rasialisme di Tanah Papua, dari impunitas para pelanggar hak asasi manusia
sampai pembatasan wartawan independen berkunjung ke Papua, demikian seruan penerbit
buku Deiyai.
Dr. Benny
Giay, ketua perusahaan penerbitan buku Deiyai, mengatakan rasialisme dan
diskriminasi tersebut disuarakan oleh Filep Karma, seorang tahanan politik di
penjara Abepura, dalam bukunya Seakan
Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, yang
diluncurkan hari ini di Jayapura. Hari ini persis 10 tahun Karma dipenjara
sejak dia pidato soal peminggiran terhadap etnik Melanesia di Tanah Papua pada
1 Desember 2004.
"Filep Karma
tak bisa keluar dari penjara. Saya mewakili dan minta pemerintah Indonesia
hentikan diskriminasi dan rasialisme terhadap orang kulit hitam, rambut
keriting, yang disebut Papua,” kata Benny Giay.
“Sudah 10
tahun Karma dipenjara karena bicara aspirasi Papua Merdeka dengan damai, tanpa
kekerasan. Apa bedanya dengan orang di Jawa bicara khilafah Islamiyah? Saya
harap Presiden Jokowi sadar bahwa Filep Karma seharusnya dibebaskan."
Buku ini
hasil wawancara dengan Filep Karma selama dua tahun. Wawancara dilakukan dalam
penjara dan rumah sakit ketika dia berobat. Karma memeriksa semua transkrip, bantu
riset data, bolak-balik dengan redaksi Deiyai, serta setuju dengan hasil final.
Ia berisi lima bagian, mulai cerita masa kecil di Wamena dan Jayapura, Biak
berdarah hingga kritik terhadap pelaku perjuangan Papua Merdeka.
Karma cerita
soal bagaimana militer dan polisi Indonesia melanggar hak asasi manusia lewat
berbagai operasi. Pelakunya, kebal hukum termasuk dalam pembantaian Biak pada 6 Juli 1998
ketika ratusan orang Papua ditangkap, dipukul dan mayat mereka dibuang ke laut.
Karma juga cerita soal anak-anak yang lahir dari pemerkosaan oleh serdadu
Indonesia.
Dia juga
cerita bagaimana warga Papua, sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 sampai hari
ini dengan “sistem noken” --dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi-- masih tidak
diberi hak one man one vote. Wartawan
independen dan organisasi hak asasi manusia juga dibatasi masuk ke Papua sejak
1963. Ini beda dengan wartawan mau datang ke kota lain di Indonesia. Tiada izin
khusus bila ada wartawan asing mau ke Pekanbaru atau Makassar.
Secara
pribadi, Karma juga cerita bagaimana ketika dia kuliah di Solo pada 1990an, dia
sering disebut sebagai “monyet” atau “koyo ketek” (kaya kera). Orang juga
sering tutup hidung ketika berdekatan dengan orang Papua. Ini bukan saja di
Jawa tapi juga di Papua, oleh para pendatang yang tinggal dari Sorong sampai
Merauke, dari Wamena sampai Paniai. Karma berpendapat orang Papua yang hitam,
rambut keriting, dianggap “setengah binatang.” Karma mendapat pencerahan ketika
dia kuliah di Manila, Filipina, dan kembali ke Papua pada Mei 1998.
Karma
dipenjara sesudah pidato
soal peminggiran etnik Papua dan menaikkan bendera Bintang Kejora di
lapangan Abepura pada 1 Desember 2004. Dia ditangkap, diadili, dihukum makar
dan dipenjara 15 tahun oleh pengadilan Abepura. Dia banding namun kalah oleh pengadilan
tinggi Papua serta belakangan oleh Mahkamah Agung di Jakarta. Dia lantas
banding ke Perserikatan Bangsa-bangsa di New York dengan bantuan hukum pro-bono
oleh Freedom Now di Washington DC.
Pada
November 2011, UN
Working Group on Arbitrary Detention di New York memutuskan pengadilan Indonesia
tidak memberikan fair trial kepada Karma.
Pasal-pasal soal makar dari Kitab Hukum Undang-undang Pidana ditafsirkan secara
tidak proporsional. Mereka minta pemerintah Indonesia membebaskan Karma “sesegera
mungkin dan tanpa syarat.” Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak
pernah menanggapi peradilan PBB.
“Sudah 10
tahun Filep Karma dipenjara. Saya kira gunanya adalah hati nurani bangsa Papua.
Dia konsisten berjuang untuk kebenaran dan cara damai. Dia tak punya kekuasaan,
tak punya organisasi, tak punya pengikut. Dia tahu bangsanya lemah. Dia berjuang
dengan sikap saja,” kata Giay.
“Di Papua,
banyak orang bisa dibeli … dengan uang, kedudukan, gelar dan janji-janji. Namun
Filep Karma menolak untuk dibeli. Dia menunjukkan bahwa orang Papua punya harga
diri. Dia adalah hati nurani bangsa Papua,” kata Giay.
James
Elmslie, seorang profesor dari Universitas Sydney yang menulis buku Irian Jaya Under the Gun: Indonesian
Economic Development versus West Papuan Nationalism, menuliskan pengantar
buku Karma. Menurut Elmslie, "Judul bukunya adalah ungkapan kuat yang
menjelaskan 52 tahun salah penanganan Papua Barat oleh pemerintah Indonesia.
Hingga kini, orang Papua Barat diperlakukan 'setengah binatang' di seluruh
pelosok negeri, dari Jayapura hingga Wamena di Pegunungan Tengah."
Elmslie
pernah tinggal beberapa tahun di Papua. Ia menyatakan buku Karma memberi
perspektif baru sehingga pembaca memahami benar perlakuan Indonesia terhadap
Papua Barat. "Filep Karma menjelaskan perlakuan kejam Indonesia terhadap
orang Papua ini karena dasar rasialisme mendalam.”
Dukungan
terhadap buku ini ditulis tujuh orang termasuk dari Carmel Budiardjo, pendiri
organisasi Tapol di London, sampai Imam Shofwan dari Yayasan Pantau di Jakarta.
Eben Kirksey, antropolog yang menulis buku Freedom
in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power,
memuji Filep Karma sebagai “… pemimpin paling berani di Papua Barat. Dia lawan
kekerasan dengan taktik non-kekerasan macam Mahatma Gandhi, Martin Luther King
dan Nelson Mandela.”
Benny Giay
juga mengingatkan bahwa Filep Karma maupun lebih dari 60 tahanan politik lain di
Papua seharusnya dibebaskan. "Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman
Wahid pernah melakukan. Mereka dikenang sebagai orang baik oleh rakyat Papua,”
ujar Giay. Dia percaya Presiden Jokowi juga orang berhati mulia. Dia minta Jokowi,
yang rencana merayakan Natal di Papua, juga membebaskan para tapol Papua. (Jackson Ikomouw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar