Jumat, 31 Januari 2014

Gereja ditengah-tengah kekerasan simbolis

Oleh: Pdt.Dr. Benny Giay *)

Pdt.Dr.Benny Giay
Dalam catatan sebelumnya saya katakan bahwa dengan cara menyikapi persoalan seperti itu menunjukkan bahwa gereja (dan masyarakat) belum memahami secara utuh akar persoalan dari konflik Papua - Indonesia. Oleh karena itu kita perlu menyebutkan beberapa masalah yang mendasari konflik Indonesia - Papua dengan mengacu kepada pengalaman gereja Papua tahun 1960-an. Pertama, masalah sejarah kontak dan relasi dua bangsa pra-1960an. Indonesia mengklaim bahwa Papua sudah berabad-abad berkontak dengan Indonesia sehingga dengan klaim itu dia berhak untuk menduduki atau menguasai Papua. Sebaliknya, Papua menganggap kontak Indonesia dengan Papua sebagai sejarah perampokan dan perbudakan yang dikenal sebagai slaven raid dan hongietocth. Dalam konteks itu Papua adalah korban dari perampokkan dan perbudakkan.

Kedua, setelah Indonesia menduduki Papua ia mulai menyebar propaganda. Pihaknya berjanji akan mengangkat orang Papua supaya bisa sejajar dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Sementara Papua menertawakan janji-janji dan propaganda itu dengan merujuk kepada perilaku pejabat Indonesia di Papua tahun 1960an yang merampok dan mengangkut semua barang-barang peninggalan Belanda ke Jawa dengan kapal-kapal sambil meneror, mengejar, dan membunuh masyarakat yang dicurigai sebagai kaki tangan Belanda.

Ketiga, pemerintah Indonesia mengeluarkan perintah untuk membakar buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan Papua baik dalam bahasa melayu maupun bahasa Belanda. Keempat, memberlakukan karantina politik dengan memaksa penandatanganan perjanjian Kota Baru (sekarang Jayapura) tentang pelarangan partai-partai politik yang sedang berjalan saat itu dan menerima agenda politik Indonesia: PEPERA tidak perlu diadakan karena Papua sudah merdeka tahun 1945 bersama dengan seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, sejak September 1966 pemerintah Indonesia mengeluarkan dokumen-dokumen rahasia menuduh gereja Papua mendukung separatisme. Keenam, menggunakan paramedis untuk menyuntik peserta PEPERA yang dicurigai akan menyuarakan aspirasi masyarakat untuk menolak bergabung dengan Indonesia. Ketujuh, membentuk dan membiayai kelompok-kelompok yang melaksanakan terror dan mempengaruhi masyarakat untuk mendukung agenda politik Indonesia, contohnya Barisan Merah Putih. Kedelapan, kebijakkan pemerintah Indonesia tidak hanya menghilang atau menghapus separatisme tetapi juga menyuburkan separatisme dengan menyiap undang-undang makar yang dengan mudah menjerat para aktivis.


Penulis adalah Ketua Sinode Kingmi Papua