Agenda utama pembebasan tanah Papua, yang digiring media
rakyat melalui Komite Nasional Papua Barat ( KNPB) adalah REFERENDUM. KNPB
menganggap Referendum bagi rakyat Papua merupakan solusi yang paling demokratis
dan bermartabat. Tak ada nilai (solusi) tawar selain referendum. Organisasi
yang semakin hari semakin militan ini optimis untuk selalu mendorong referendum
hingga titik darah penghabisan. Atau, hingga merebut kejayaan di bumi
cenderawasih.
Pengertian berdasarkan kamus elektronik bahasa indonesia,
referendum adalah penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka
menentukannya sendiri (jadi, tidak diputuskan melalui rapat atau oleh
parlemen). Sehingga, keputusan penuh berada pada segenap rakyat.
KNPB
MENUNTUT REFERENDUM
Setelah KNPB, organisasi perlawanan dan juga merupakan media
rakyat bangsa Papua ini terbentuk, telah tercipta bukit yang terjal antara KNPB
dan aparat keamanan. Banyak anggota KNPB telah ‘diseret’ ke lembaga pertahanan.
Mereka ditahan bertahun-tahun di balik trali besi. Anggota KNPB di kejar,
dianiaya, bahkan di tembak mati oleh aparat keamanan. Itu hanya karena menuntut
agar segera lakukan referendum bagi orang Papua.
Jangankan anggota KNPB, warga sipil yang menyebut kata
referendum pasti akan ditahan dan akan diinterogasi oleh gabungan aparat
keamanan (TNI/POLRI). Mengungkit masalah lama untuk menjebloskan anggota KNPB
adalah hanya sebuah siasat yang didorong oleh aparat keamanan untuk memvonis
organisasi KNPB dengan mensinyalir belum terdaftar di kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik (Kesbangpol).
Namun, permainan busuk ini bukan hal baru. Sejak
terbentuknya organisasi KNPB, berbagai stigma telah mereka hadapi. Tidak hanya
di kota Jayapura. Setiap kota yang memiliki basis KNPB selalu diperhadapkan
dengan moncong senjata.
Namun, KNPB tak pernah mundur selangkahpun. Mereka bertahan
di garis depan. Dengan slogan LAWAN. Kata LAWAN telah mengakar dalam diri
setiap anggota. Dan selayaknya setiap pejuang tak perlu mundur dari garis
perlawanan. Itulah beberapa kata yang sering mereka kumandang ketika DEMO Damai
di beberapa kota yang menyebar di pelosok bumi Papua.
GUBERNUR
TERIAK ‘REFERENDUM’
Mengapa seorang pejabat negara di provinsi Papua, tidak
pernah di sergap oleh aparat keamanan ketika Gubernur Papua, Lukas Enembe,
mengungkapkan bahwa dalam peninjauan draf UU Otsus Plus telah termuat juga
tentang referendum? Jika KNPB yang berteriak referendum pasti akan ditahan oleh
gabungan aparat keamanan (TNI/POLRI).
Pekan yang lalu, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius
Murib dan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, bersengkonkol menyuarakan
tentang salah satu pasal yang memuat tentang REFERENDUM. Pasal tersebut
merupakan salah satu ancaman tersebar untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) bahwasannya jika pelaksanaan Otonomi Khusus PLUS tidak dilaksanakan maka
kepulauan Papua (Propinsi Papua dan Papua Barat) akan selenggarakan penentuan
nasib sendiri. MRP sebagai lembaga cultural bagi orang papua, akan
memfasilitasi penyelenggaraan penentuan nasib sendiri atau referendum untuk
orang asli Papua.
UU Pemerintahan Otsus Papua di Pasal 299, isinya adalah
apabila undang-undang tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah secara konsisten
dan konsukuen, serta tidak membawa manfaat yang signifikan bagi upaya
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan orang asli Papua, atas prakarsa MRP
dapat diselenggarakan referendum yang melibatkan seluruh orang asli Papua,
untuk menentukan nasib sendiri.
Pernyataan-pernyataan tersebut ramai muat di beberapa media
lokal di Papua. Bahkan menjadi ‘headline’
berita. Hingga kini kamis (22/01/2014) masih muat di media lokal. Baca di
website tabloidjubi.com
Peran Aparat
Keamanan ‘Ompong’
Ketidakpercayaan dari warga sipil terhadap aparat keamanan
semakin menuai titik terang. Fungsi untuk mengayomi, melindungi serta menjaga
warga sipil menurun semakin drastis. Secara tidaklangsung aparat sendiri yang
mengungkapkan ke publik bahwa aparat keamanan hanya menangkap para aktivis yang
berbicara referendum bagi orang Papua. Bukan ketua MRP dan Gubernur.
Itu artinya, peran dari pada pihak keamanan (baik TNI maupun
POLRI) sudah ompong terhadap petinggi di provinsi Papua dan papua barat. Namun,
peran keamanan untuk menangkap dan menembak warga sipil dan aktivis selalu
ber-gigi. Tidak keperpihakan terhadap warga sipil timbul ketika tidak menangkap
kedua pimpinan yang mengeluarkan pernyataan tentang pelaksaan referendum.
Hukum, keadilan, dan kebebasan berekspresi berlaku bagi para petinggi di
seantoro Papua.
PENUTUP
Tak ada nilai tawar kepada NKRI hanya
untuk mendatang program konstruktif. Dan juga, harga diri suatu bangsa tak bisa
di bayar dengan emas, intan dan permata. Untuk merebut harga diri membutuhkan
pengorbanan dan kerja keras dari semua gerakan pro-kemerdekaan. Selain itu,
membutuhkan setetes darah yang pernah tumbah di tanah leluhur puluhan tahun
yang lalu.
Tawaran referendum kepada NKRI hanya
menutupi dan membunuh ideologi Papua
Merdeka agar program pemerintah Indonesia lolos tanpa dihadang oleh gerakan
pejuangan Papua Merdeka. Contohnya, kita membuka kembali lembaran lama,
Pemerintah Indonesia berjanji setelah OTSUS gagal solusi alternatif terakhir
adalah Papua Merdeka. Namun, faktanya bukan Papua Merdeka tapi OTSUS PLUS. Hal
ini perlu dilihat secara jelih agar kita tidak mudah ditipu oleh kaum penjajah.
Penulis adalah Pemerhati kondisi di Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar