Rabu, 22 Januari 2014

REFERENDUM BUKAN NILAI TAWARAN PROGRAM NKRI

Ilustrasi
Oleh: Ones Madai*)

Agenda utama pembebasan tanah Papua, yang digiring media rakyat melalui Komite Nasional Papua Barat ( KNPB) adalah REFERENDUM. KNPB menganggap Referendum bagi rakyat Papua merupakan solusi yang paling demokratis dan bermartabat. Tak ada nilai (solusi) tawar selain referendum. Organisasi yang semakin hari semakin militan ini optimis untuk selalu mendorong referendum hingga titik darah penghabisan. Atau, hingga merebut kejayaan di bumi cenderawasih.

Pengertian berdasarkan kamus elektronik bahasa indonesia, referendum adalah penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka menentukannya sendiri (jadi, tidak diputuskan melalui rapat atau oleh parlemen). Sehingga, keputusan penuh berada pada segenap rakyat.


KNPB MENUNTUT REFERENDUM     
                   
Setelah KNPB, organisasi perlawanan dan juga merupakan media rakyat bangsa Papua ini terbentuk, telah tercipta bukit yang terjal antara KNPB dan aparat keamanan. Banyak anggota KNPB telah ‘diseret’ ke lembaga pertahanan. Mereka ditahan bertahun-tahun di balik trali besi. Anggota KNPB di kejar, dianiaya, bahkan di tembak mati oleh aparat keamanan. Itu hanya karena menuntut agar segera lakukan referendum bagi orang Papua.

Jangankan anggota KNPB, warga sipil yang menyebut kata referendum pasti akan ditahan dan akan diinterogasi oleh gabungan aparat keamanan (TNI/POLRI). Mengungkit masalah lama untuk menjebloskan anggota KNPB adalah hanya sebuah siasat yang didorong oleh aparat keamanan untuk memvonis organisasi KNPB dengan mensinyalir belum terdaftar di kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).

Namun, permainan busuk ini bukan hal baru. Sejak terbentuknya organisasi KNPB, berbagai stigma telah mereka hadapi. Tidak hanya di kota Jayapura. Setiap kota yang memiliki basis KNPB selalu diperhadapkan dengan moncong senjata. 

Namun, KNPB tak pernah mundur selangkahpun. Mereka bertahan di garis depan. Dengan slogan LAWAN. Kata LAWAN telah mengakar dalam diri setiap anggota. Dan selayaknya setiap pejuang tak perlu mundur dari garis perlawanan. Itulah beberapa kata yang sering mereka kumandang ketika DEMO Damai di beberapa kota yang menyebar di pelosok bumi Papua. 


GUBERNUR TERIAK ‘REFERENDUM’

Mengapa seorang pejabat negara di provinsi Papua, tidak pernah di sergap oleh aparat keamanan ketika Gubernur Papua, Lukas Enembe, mengungkapkan bahwa dalam peninjauan draf UU Otsus Plus telah termuat juga tentang referendum? Jika KNPB yang berteriak referendum pasti akan ditahan oleh gabungan aparat keamanan (TNI/POLRI).

Pekan yang lalu, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib dan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, bersengkonkol menyuarakan tentang salah satu pasal yang memuat tentang REFERENDUM. Pasal tersebut merupakan salah satu ancaman tersebar untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahwasannya jika pelaksanaan Otonomi Khusus PLUS tidak dilaksanakan maka kepulauan Papua (Propinsi Papua dan Papua Barat) akan selenggarakan penentuan nasib sendiri. MRP sebagai lembaga cultural bagi orang papua, akan memfasilitasi penyelenggaraan penentuan nasib sendiri atau referendum untuk orang asli Papua.

UU Pemerintahan Otsus Papua di Pasal 299, isinya adalah apabila undang-undang tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah secara konsisten dan konsukuen, serta tidak membawa manfaat yang signifikan bagi upaya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan orang asli Papua, atas prakarsa MRP dapat diselenggarakan referendum yang melibatkan seluruh orang asli Papua, untuk menentukan nasib sendiri.
Pernyataan-pernyataan tersebut ramai muat di beberapa media lokal di Papua. Bahkan menjadi ‘headline’ berita. Hingga kini kamis (22/01/2014) masih muat di media lokal. Baca di website tabloidjubi.com


Peran Aparat Keamanan ‘Ompong’

Ketidakpercayaan dari warga sipil terhadap aparat keamanan semakin menuai titik terang. Fungsi untuk mengayomi, melindungi serta menjaga warga sipil menurun semakin drastis. Secara tidaklangsung aparat sendiri yang mengungkapkan ke publik bahwa aparat keamanan hanya menangkap para aktivis yang berbicara referendum bagi orang Papua. Bukan ketua MRP dan Gubernur.
Itu artinya, peran dari pada pihak keamanan (baik TNI maupun POLRI) sudah ompong terhadap petinggi di provinsi Papua dan papua barat. Namun, peran keamanan untuk menangkap dan menembak warga sipil dan aktivis selalu ber-gigi. Tidak keperpihakan terhadap warga sipil timbul ketika tidak menangkap kedua pimpinan yang mengeluarkan pernyataan tentang pelaksaan referendum. Hukum, keadilan, dan kebebasan berekspresi berlaku bagi para petinggi di seantoro Papua. 


PENUTUP

Tak ada nilai tawar kepada NKRI hanya untuk mendatang program konstruktif. Dan juga, harga diri suatu bangsa tak bisa di bayar dengan emas, intan dan permata. Untuk merebut harga diri membutuhkan pengorbanan dan kerja keras dari semua gerakan pro-kemerdekaan. Selain itu, membutuhkan setetes darah yang pernah tumbah di tanah leluhur puluhan tahun yang lalu.
Tawaran referendum kepada NKRI hanya menutupi  dan membunuh ideologi Papua Merdeka agar program pemerintah Indonesia lolos tanpa dihadang oleh gerakan pejuangan Papua Merdeka. Contohnya, kita membuka kembali lembaran lama, Pemerintah Indonesia berjanji setelah OTSUS gagal solusi alternatif terakhir adalah Papua Merdeka. Namun, faktanya bukan Papua Merdeka tapi OTSUS PLUS. Hal ini perlu dilihat secara jelih agar kita tidak mudah ditipu oleh kaum penjajah.


Penulis adalah Pemerhati kondisi di Papua

Tidak ada komentar: