Koteka, tas kulit kayu, dan noken. Aneka suvenir di Pasar Hamadi, Jayapura, Papua. |
"Pakaian tradisional suku Yali mulai ditinggalkan dan hanya generasi tua yang menggunakan," kata staf peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Hari Suroto, Minggu (10/3/2013). Sedangkan generasi muda suku itu, ujar dia, lebih suka menggunakan pakaian modern berbahan kain.
Pakaian tradisional suku Yali, tutur Hari, adalah paduan antara koteka dan lingkaran rotan yang dililitkan ke badan. Bahan koteka, sebut dia, adalah buah labu panjang yang dikosongkan isinya kemudian dikeringkan dengan dijemur di atas perapian.
Setelah kering, labu tersebut dipasang di atas kemaluan lelaki suku Yali, dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut.
Arti dan fungsi lilitan rotan
Setelah kering, lanjut Hari, dipasang di atas kemaluan (testis) pria dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. Dia menjelaskan lingkaran rotan di perut dan badan, juga menunjukkan tingkat keberanian seorang pria dari suku itu.
"Semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu," kata Hari. Karena, rota hanya tumbuh di luar daerah Yali. Orang Yali biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh, dan untuk memperolehnya harus menempuh risiko.
Lingkaran rotan dan koteka, juga bukan cuma pakaian dan perhiasan. Ada kegunaan lain dari pakaian tradisional ini, yaitu untuk membuat api. "Rata-rata pria Yali membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api," tutur Hari.
Untuk membuat api, seorang suku Yali akan mengambil sepotong rotan dari pakaian mereka, kira-kira sepanjang 60 sentimeter. Rotan itu lalu dililitkan ke sepotong kayu yang diletakkan di atas tanah, dikelilingi dengan rumput dan dahan kering.
Lalu, lelaki itu akan berdiri, dengan masing-masing kaki menginjak ujung kayu. Dengan tangan, mereka kaan menarik tali rotan yang dililitkan tadi dengan cepat naik turun digesekkan ke kayu, sampai keluar asap, api mulai menyala, dan ujung tali putus terbakar. "Setelah itu, mereka menutupi kayu tersebut dengan rumput dan meniup sampai terjadi kobaran api yang besar," katanya.
Tak terdokumentasi
Hari mengatakan saat ini pakaian tradisional suku Yali belum terdokumentasi dengan baik. Museum di Papua maupun di Jakarta belum memiliki koleksi pakaian ini.
Menurut
Hari, perlu penelitian mendalam serta pendokumentasian lengkap dan
baik, dalam beragam metoda pendokumentasian, sebelum pakaian ini
benar-benar punah. Penggunaan pakaian tradisional ini dalam festival
budaya maupun pada hari besar nasional, tambah dia, juga dapat menjadi
cara untuk melestarikan pakaian tersebut. (KR-ARG/Aditia Maruli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar