“Para Elit
Politik di Wilayah Mee-Pagoo Papua, jadikan
Gereja sebagai objek untuk mencari Kekuasan
disela-sela bergulirnya Pesta Demokrasi ”
Oleh: Jackson Ikomouw*)
Kekuasan. FOTO:Ils |
PESTA DEMOKRASI, biasanya dilaksanakan lima (5) tahun
sekali. Untuk memilih pemimpin di bangku
eksekutif dan legislatif. Kesempatan tersebut rakyat lah penentu pembangunan di
lima (5) tahun kemudian. Sebelum pelaksanaan Pemilu berlangsung, pasti tentunya seorang caleg menggong-gong komunikasi politik guna menarik
perhatian publik dengan berbagai upaya.
Namun
dalam penulisan ini akan lebih membeberkan soal: Elit Politik di wilayah
Mee-Pagoo jadikan Gereja termpat
Komunikasi Politik. Tentunya tidak terlepas juga dari money politik.
Money
Politik di ajang pesta demokrasi adalah hal yang biasa dan/atau sering terjadi.
Persoalan ini rupanya nampak di wilayah Mee-Pago, meliput: Kabupaten Paniai,
Dogiay, Deiyai.
Perhatihan
para caleg hanya lebih dipusatkan terhadap Gereja-Gereja, untuk dipilih menjadi
wakil rakyat. Ketika mencalonkan diri. Sering dan/atau sesekali para calon
membantu dana guna menyukseskan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh gereja.
Suatu
ketika, saya ditelpon salah satu calon legislatif dari Kabupaten Deiyai. Beliau
mengatakan, “Kemarin, saya sudah sumbang dana untuk kegiatan Musyawara Mee di
Diyai, serta beberapa gereja di wilayah Kabupaten Deiyai pun saya bantu.
Namun,
saya bertanya, “Beliau bantu dana sebesar itu harapan kedepan untuk apa ? Pache
menjawab, Untuk mencalonkan sebagai
sebagai Ketua DPRD Kabupaten Deiyai, periode 2014-2019. Semua masyarakat saya
sudah bayar, sekarang tinggal tunggu hari pelaksanaan, (9/4), “Kata seorang
diri yang tidak ingin sebut namanya.
Tentunya,
dana yang sempat dibantu oleh yang bersangkutan, tentu akan diumumkan saat
pengumunan di Gereja terhadap umat. Oleh karenanya, Umat akan apresiasi atas
bantuan yang diberikan kepada gereja, serta pasti akan berpartisipasi untuk
memilih, ketika mencalon diri. Bahkan Sebagain suarakan tentu akan disisikan
untuk memilih kepada yang bersangkutan.
Sering
saya jumpai, para elit politik di Kabupaten Paniai, Deiyai, dan Dogiay
menunjukan eksitensinya di muka umat saat ibadah mingguan dengan berbagai cara.
Persoalan ini benar-benar terjadi di beberapa gereja di wilayah Mee-Pagoo.
Kadang
gereja di jadikan tempat untuk komunikasi politik praktis para caleg. Namun,
persoalan tersebut; umatlah yang membuka pintu untuk melakukan korupsi,
Kolusi dan nepotisme (KKN). Semestinya, Gereja mengutamakan “keadilan
dan kebenaran”.
Apa Nasib Umat, 5 Tahun Mendatang ?
Sayangnya;
Katika, caleg tersebut menduduki di bangku legislatif, jika tidak memiliki kapasitas, intelektualitas,
serta kemampuan maka aspirasi tidak akan disikapi dengan serius. Dan apabila
terjadi kekerasan terhadap rakyat, tidak disikapi dengan serius guna untuk diselesaikan.
Jika
rakyat protes soal pembiaran yang dilakukan oleh wakil rakyat, “pasti tentu” seorang
anggota DPRD itu akan mengatakan, “Suara-suara yang saya peroleh bukan hati
nurani dari rakyat, akan tetapi saya sudah bayar too, untuk apa menyoroti
kinerja saya.
Jika
memang persoalan pembiaran terjadi; Umat yang bersangkutan, menciptakan masala
dari dalam gereja, “Syukurlah !!! jika ada anggota DPRD yang punya mata hati
untuk membangun dan menikdaklanjuti aspirasi rakyat.
Harapan dan Rekomendasi
Baiknya,
jika rakyat yang lebih perioritaskan bagi yang tidak terlibat dalam money
politik. Dan lebih mengutakan kepetingan pembangunan, serta rakyat dewasa dan/atau
sadar dalam berpolitik.
Untuk
membangun kesadaran rakyat di wilayah mee-pago, perlu ada pendidikan politik
dimasing-masing Kabupaten. Dan hal ini tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum
(KPU), dan PANWAS, serta LSM peduli pembangunan. Guna sosialisasi mengenai
politik praktis di tingkat Kampung, Distrik, dan Kabupaten/Kota.
Penulisa
adalah: Anak Papua asal Duamo. Kini berdomisili di Ibu Kota Negara Republik
Pasundan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar