Alm. Tuan Mako. |
Pertanyaannya : apa kata Firman TUHAN tentang
para pencuri tanah? “Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesama
manusia. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata amin”. (Ulangan 27 : 17).
Jika kita mempercayai Alkitab sebagai Firman
TUHAN, maka kita percaya pula bahwa para pengambil kebijakan Belanda, Indonesia
dan Amerika telah terkutuk karena telah menggeser batas tanah Republik
Indonesia (RI) sampai mencaplok Tanah Papua tanpa ijin dan persetujuan Bangsa
Papua.
Pertanyaan berikut : jika Indonesia, Belanda dan
Amerika telah terkutuk karena “menggeser batas Indonesia sampai mencaplok Tanah
Papua”, apakah perjuangan Bangsa Papua akan diberkati jika upaya perjuangan
difokuskan untuk mendapatkan pembelaan dari para pencuri terkutuk itu? Kisah
Nabi Musa yang dipakai Allah membebaskan Bangsa Israel menunjukkan bahwa dia
tidak bisa membebaskan bangsanya selama dia masih bekerja sama dengan Firaun
yang menindas bangsa Israel. Dia harus keluar dari istana Firaun. Istana Firaun
hanyalah tempat dia belajar.
Tempat Musa mendapatkan top quality information
dan mengembangkan akses untuk melakukan komunikasi ke decision maker. Bukan
pusat perjuangan pembebasan bangsanya dari perbudakan. Pembebasan bangsanya
baru bisa dilakukan ketika dia keluar dari istana, tidak lagi bekerja sama
dengan Firaun dan kemudian menyampaikan perintah dan kutukan TUHAN atas Mesir,
sampai kutukan ke-10 yakni kematian anak sulung.
Masalah pokok Bangsa Papua adalah menuntut
keadilan akan pengembalian Tanah Papua yang sudah dicaplok dengan menggeser
batas tanah Repoblik Indonesia sampai masuk mengambil Tanah Bangsa Papua. Tanah
dan bangsa adalah ciptaan dan milik TUHAN yang hubungannya diatur di dalam adat
negeri bangsa-bangsa pewaris. Manusia diberikan hak untuk mewarisi dan
memelihara tanah dengan baik tanpa menggeser batas tanah dengan caplok
mencaplok. Sekali lagi, TUHAN berfirman, “Terkutuklah orang yang menggeser
batas tanah sesama manusia. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata amin”.
(Alkitab, Kitab Ulangan 27 : 17).
Sampai menjelang tahun 1960-an, Tanah Papua
dicaplok menjadi koloni Kerajaan Belanda. Aneh bin ajaib, Kerajaan Belanda yg
terletak di sepenggal tanah di Eropa sana bisa mengklaim menguasai Tanah Papua.
Namun pada 1 Mei 1963, Tanah Papua direbut oleh pencaplok baru bernama
Indonesia melalui konfrontasi militer (Trikora) plus diplomasi antara Indonesia
dan Belanda. Lagi-lagi aneh bin ajaib, suatu pencaplokan tanpa persetujuan
pemiliknya.
Sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera/Act of
Free Choice) dilakukan di Tanah Papua pada tahun 1969, sejarah mencatat adanya
pertemuan rahasia antara Menlu Belanda dan Menlu Indonesia di Roma di mana
antara lain Menlu Belanda memberi jaminan kepada Menlu Indonesia bahwa Belanda
tidak akan mengamati pelaksanaan Act of Free Choice.
Amerika Serikat ikut berkonspirasi dengan para
pencuri dengan melegalkan pencurian ini. Diplomat US Ellswoth Bunker (bagaimana
nasib Ellswoth Bunker, mudah-mudahan tidak bernasib tragis) pada 1962
merumuskan “The New York Agreement” yang disepakati dan ditanda-tangani
Indonesia dan Belanda; perumusan maupun penanda-tanganannya tidak melibatkan
orang Papua.
Perjanjian tersebut merupakan dasar hukum bagi
para pencuri untuk melakukan permainan kotor mereka. Pertama, mereka
menghilangkan Hak Bangsa Papua dalam hukum internasional sebagai bakal negara
yang sedang dalam proses dekolonisasi. Kedua, perjanjian itu mengakhiri
kekuasaan pencuri sebelumnya (yang bernama Kerajaan Belanda) dan menyerahkan
Tanah Papua ke pemerintahan peralihan PBB (UNTEA) sebelum beralih ke pencuri
baru bernama Republik Indonesia. Ketiga, perjanjian ini juga memaksa PBB
mengakhiri masa tugas UNTEA di Papua pada tahun 1963 pada hal seharusnya tugas
UNTEA berakhir pada tahun 1969 setelah terlaksana dan disahkannya Act of Free
Choice.
Situasi lowong ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi Indonesia
untuk membunuh dan membungkam suara-suara rakyat Bangsa Papua dalam menuntut
haknya. Keempat, perjanjian tersebut berhubungan erat dengan politik luar
negeri Amerika untuk meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Lama yang sulit
dikendalikan Amerika dan mendukung berdirinya rezim Orde Baru pro Barat (anti
komunis) dengan imbalan konsesi pertambangan tembaga dan emas di Freeport
Timika. (Bagaimana nasib Muffet, apakah dia bahagia di masa tuanya untuk
menikmati emas dan tembaga yag dia rampok dari Tanah Papua di atas pengorbanan
darah dan nyawa Bangsa Papua?).
Konsesi ditanda-tangani pada tahun 1967 antara
Indonesia dan Amerika pada hal secara internasional Papua baru menjadi “bagian legal”
dari wilayah Indonesia pada pasca pengesahan Act opf Free Choice tahun 1969.
Kelima, perjanjian tersebut telah memfasilitasi berbagai tindakan pelanggaran
HAM dan pembantaian di Tanah Papua terkait dengan penolakan Bangsa Papua akan
Act of Free Choice 1969 dan menyebabkan Majelis Umum PBB menyangkali semua
Keputusan Hukum Internasional yang dibuat dalam rangka proses dekolonisasi
Tanah Papua (Sekjen PBB masa itu mati tragis dalam kecelakaan pesawat). Keenam,
perjanjian yang disponsori Amerika Serikat dan sekutunya itu mendorong
resistensi Bangsa Papua sepanjang sejarah Indonesia di tanah ini dan
mengakibatkan pelanggaran HAM berkepanjangan yang membasahi Tanah Papua dengan
jiwa, darah, air mata dan doa Bangsa Papua.
Nasib akhir para decision makers yang menggeser
batas tanah Indonesia hingga mencaplok Tanah Papua tragis. Soekarno, Presiden
RI yang memerintahkan Tri Komando Rakyat untuk invasi Indonesia ke Tanah Papua
selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963 tidak bisa menikmati hasil “perjuangannya”.
Dia dibunuh secara politik dengan dipaksa mengakhiri hidupnya secara tragis
sebagai tahanan rumah hanya 2 (dua) tahun setelah dia mencaplok Tanah Papua.
Subandrio, sang penanda-tangan New York Agreement 1962 pun dibunuh secara
politik dengan dijebloskan ke penjara oleh Rezim Orde Baru.
Presiden Amerika John F. Kennedy yang berperan
sentral dalam proses politik untuk melegalkan pencaplokan Tanah Papua ditembak
mati di Dallas pada 2 November 1963 hanya beberapa bulan sesudah penyerahan
Tanah Papua kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Robert F. Kennedy, Jaksa Agung Amerika pada jaman
pemerintahan Presiden John F. Kennedy -- kakaknya, mengalami nasib tragis yang
tiada berbeda dengan sang kakak. Ia mati dibunuh pada 6 Juni 1968 dengan
sebutir peluru yang ditembakkan dari telinga kanan menembus kepalanya tepat
pada saat Indonesia melakukan persiapan Dewan Pepera untuk memenangkan proses
pergeseran batas tanah Republik Indonesia untuk mencaplok Tanah Papua.
Presiden Soeharto, yang brilian sebagai ahli
strategi militer, yang memimpin invansi Indonesia (Trikora) untuk mencaplok
Tanah Papua, dipaksa turun dari jabatan Presiden RI yang diemban selama 30
tahun. Dia turun dari kemuliaan singgasana Presiden dalam kehinaan tepat pada
saat umat Kristen merayakan kenaikan Tuhan Yesus ke surga (dalam kemuliaan).
Mirip nasib Raja Nebukanezar dari Kerajaan Babilon Pencaplok Tanah Kanaan milik
Israel yang dihina TUHAN dengan melengserkannya dari singgsana raja hingga
menjalani kehidupan hina seperti seekor kambing yang makan rumput.
Beberapa pesan iman bisa ditarik dari catatan
sejarah ini. Pesan pertama, seperti yang dilakukan Musa terhadap Firaun, lobby
Papua perlu menyadarkan para pencuri itu bahwa proses menggeser batas tanah RI
sampai mencaplok Tanah Papua yang dilakukan pemerintah mereka pada waktu lalu
dalam Firman Tuhan dinyatakan sebagai tindakan terkutuk. Tuhan Yesus pada saat
di kayu salib berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa
yang mereka perbuat. “ Tindakan para pencuri untuk menggeser Tanah Papua telah
mengakibatkan Bangsa Papua “disalib” dan menderita di bawah pemerintahan
Indonesia . Selama para pelakunya tidak tahu apa yang mereka perbuat bagi
Papua, mereka diampuni. Namun setelah mereka diberi tahu bahwa tindakan mereka
adalah tindakan terkutuk menurut Firman TUHAN, maka sebaiknya mereka bertobat
dan mengembalikan barang curian itu kepada pemilik sah.
Jika mereka tidak
bertobat maka mereka akan menanggung kutukan TUHAN. Mereka dan seluruh
keturunan mereka. Ini bukanlah hal yang mustahil seperti seluruh Mesir
menanggung kutukan TUHAN sebelum Israel dibebaskan.
Kita baru saja merayakan Paskah, sama seperti
Yesus bangkit pada hari ketiga demikianlah Bangsa Papua akan dibebaskan pada
Generasi Perjuangan Ketiga. Jika kita membandingkan penyaliban Tuhan Yesus
Kristus dan sejarah Indonesia di Papua, kita akan menemukan beberapa persamaan.
Persamaan Pertama, penyaliban Yesus dilakukan pada jaman pemerintahan
Kekaisaran Romawi. Penyaliban Bangsa Papua dirancang di kota Roma melalui Roma
Agreement – apakah bangsa dan negara di mana Kota Roma berada saat ini sedang
bahagia? Yesus dikhianati Yudas Iskariot, Bangsa Papua dikhianati pemerintah
Belanda yang melalui peran Menlu Luns. (Apakah Luns tidak mengalami nasib
tragis?) Imam Besar Kayafas yang menuntut hukuman mati atas Yesus pada kasus
Papua diperankan oleh Presiden Soekarno dengan Trikora-nya. Menurut teolog dan
sejarawan Yahudi – Esebius dari Kaesarea – setelah menyalibkan Yesus maka
Pontius Pilatus mati bunuh diri. Pontius Pilatus dalam penyaliban bangsa Papua diperankan
oleh Presiden John F. Kennedy yang sesudahnya telah mati ditembak. Herodes
diperankan oleh Robert F. Kennedy (Jaksa Agung, adik JFK).
Robert mengalami nasib seperti kakaknya JFK –
mati ditembak. Ada seorang penjahat Amerika bernama Allan Pupe yang dibebaskan
Soekarno dan dia menyalibkan Bangsa Papua sama seperti Barabas si Penjahat
dibebaskan dan Yesus disalibkan. Kemudian hari nasib Presiden Soekarno, Menlu
Subandrio, dan Presiden Soeharto berujung tragis dalam kehinaan – dibunuh
secara politik. Persamaan Kedua, Pada Hari Pertama, Yesus Sang Individu Ilahi
disiksa dan disalib untuk menyelamatkan dosa dunia. Bangsa Papua (kolektif)
disalibkan pada masa Generasi Perjuangan Pertama untuk menyelamatkan dunia dari
Perang Dunia III antara blok Barat melawan komunis (Blok pimpinan Uni Sovyet).
Yesus disiksa, mati pada hari I dan dikuburkan sampai hari II. Bangsa Papua
disiksa pada sejak Generasi Perjuangan I dan sampai Generasi Perjuangan II
mengalami berbagai bentuk pelanggaran HAM berat dan genosida. Generasi Pejuang
Papua II mengungkap berbagai pelanggaran HAM di mana Bangsa Papua berjuang
melawan genosida dan berbagai pelanggaran HAM berat . Yesus bangkit pada hari
ketiga. Tanda-tanda kebangkitan Bangsa Papua mulai tampak pada Generasi
Perjuangan III ketika nama Papua dikembalikan dan ketika Bendera Papua boleh
dikibarkan. Namun Kebangkitan Bangsa Papua belum mencapai kesempurnaan.
Kesempurnaan kebangkitan Bangsa Papua akan
terjadi jika “Seluruh bangsa mengatakan amin.” (Ulangan 27 : 17 b). Generasi Perjuangan
Papua III adalah Generasi Papua Bangkit untuk Mandiri (seperti visi Gubernur
Lukas Enembe dari Provinsi Papua saat ini). Generasi yang harus menyampaikan
kutukan Allah kepada para pencuri Tanah Papua sampai mereka bertobat dan
mengembalikan Tanah Papua kepada pemiliknya agar Bangsa Pemilik Tanah Papua
dipulihkan dan bangkit untuk memuliakan TUHAN di tanah yang diberikan TUHAN
kepada mereka.
Apakah gereja-gereja di Roma (tempat Roma
Agreement dibuat), Amerika, Belanda dan Indonesia bisa di-Injili untuk
meng-Injili pemerintah dan bangsa mereka bahwa tindakan yang sudah mereka
lakukan untuk menggeser batas tanah Republik Indonesia sampai mencaplok Tanah
Papua adalah tindakan yang terkutuk? Apakah Gereja-Gereja di Papua, Vanuatu,
PNG, Australia, Selandia Baru dll bisa membantu Bangsa Papua menyampaikan
berita mengenai kutukan TUHAN ini kepada Belanda, Indonesia dan Amerika? Apakah
gereja-gereja dari bangsa-bangsa yang pernah abstain dalam penetapan nasib
Bangsa Papua di PBB Tahun 1969 bisa di-Injili untuk memberi kesaksian bahwa
“perbuatan orang yang menggeser batas tanah sesama manusia adalah terkutuk”?
Apakah pemerintah dari bangsa-bangsa yang tidak ikut merampok kekayaan alam
Tanah Papua di atas penderitaan Bangsa Papua bisa diinjili untuk mendorong pengembalian
batas Tanah Papua ke titik yang adil bagi Bangsa Papua?
Kedua, “Seluruh bangsa Itu harus berkata amin”.
Seluruh Bangsa Papua sebagai pewaris Tanah Papua haruslah berkata “amin”.
Artinya Papua harus tampil sebagai satu bangsa. Hal-hal mengenai sukuisme,
perpecahan politik, paham gunung vs pantai dan sebagainya harus diatasi agar
Papua mampu berkata amin sebagai satu bangsa. Kedua, berkata amin artinya
mengakui bahwa perwujudan kutuk kepada para pencaplok tanah itu adalah hak
Tuhan. Tuhan akan mengatur segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Tugas bangsa
Papua adalah mengimani dan melakukan Firman TUHAN.
Iman tanpa perbuatan pada
hakekatnya adalah mati. Ketiga, berkata amin berarti menyungguhkan bahwa
tindakan menggeser batas tanah adalah tindakan terkutuk artinya bangsa Papua
harus satu hati dan iman pada pokok persoalan Bangsa Papua saja. Bangsa Papua
tidak usah melakukan dosa yang sama untuk menggeser batas Tanah Papua sampai
hendak menguasai seluruh Melanesia (apakah ini missi faksi Bendera Bintang 14?).
Bangsa Papua harus fokus untuk mendapatkan keadilan atas haknya saja (Bendera
Bintang I). Pertanyaannya : apakah gereja-gereja di Papua bisa mendorong Bangsa
Papua ini untuk berkata amin bahwa tindakan menggeser batas tanah Republik
Indonesia sehingga mencaplok Tanah Papua adalah tindakan yang menurut Firman
Allah “terkutuk”? Apakah para pemimpin faksi-faksi dalam perjuangan Bangsa
Papua (faksi Bendera Bintang 14 dan faksi Bendera Bintang I) bisa bersatu dalam
berkata amin bahwa persoalan Bangsa Papua adalah persoalan dicaploknya Tanah
Papua saja dan bukan Tanah Bangsa Melanesia? Apakah suku-suku di Papua dan para
tokoh perjuangan Papua bisa bersatu sebagai satu bangsa untuk mengatakan amin?
“Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah
sesama manusia. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata amin”. (Ulangan 27 :
17). Imani dan lakukanlah Firman TUHAN, Dia akan mengatur segalanya indah pada
waktunya, pun bagi Bangsa Papua. [HABIS]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar