Jumat, 02 Januari 2015

JURNALIS DI TIMIKA, HARUS INDEPENDEN

Timika,Banyak media tidak independen dalam pemberitaan. Pemberitaan tidak sesuai dengan kenyataan, serta media melindungi kepentingan kapitalis dan penguasah. Hal tersebut disampaikan, Ketua PUK-SPSI-KEP PT. Kuala Pelabuhan Indonesia (KPI) Kabupaten Mimika, Yakobus Takimai, Jumat, (2/12/15), dari ruang kerjanya di jalan Kartini Timika Papua.

Beberapa media yang ada di Timika, dalam perberitaannya beda dengan fakta yang terjadi, bahkan membolak balikan fakta yang sebenarnya. Hal tersebut kami sebagai masyarakat sangat kesal.  

“Kami sebagai publik tidak percaya dengan kehadiran beberapa media di Timika Papua.

Menururtnya, Harapan kami dari masyarakat, Jurnalis harus kerja secara profesional. Maka publik dapat percaya kehadiran media tersebuh, bahkan menyapaikan keluhan masyarakat melalui media , “Katanya.

Pada tempat yang sama, Kordinator Komunitas pekerja Papua SPKEP-SPSI Kabupaten Mimika, Aser Gobai ST, mengatakan, eksperesi media ditutupi kapitalis, maka pemberitaan tidak imbangi sesuai kenyataan, malah melindungi kepentingan mereka.

“Proses pembodohan ini, mengakibat negara dan masyarakat jadi korban kapitalis. Pemerintah pusat hingga daerah jangan diam untuk menyikapi masalah ini, “Tutur mantan  Spesial Proyek PT.BUMA Planning MTC LL di perusahan privatisisa PT. KPI.

Oleh karnanya, perlu independensi dalam peliputan berita. Sebab, Papua punya banyak masalah mestinya di ketahui oleh publik, namun tidak menyalahkan satu sama lainnya, “Tutur  anggota DPR Daerah Kabupaten Mimika itu.

Sebelumnya, Andreas Harsono, dari Human Rights Watch (HRW), mengatakan, di Papua tidak ada jurnalis yang Independen. Dimana pemberitaan soal insiden penembakan terhadap 5 Warga sipil dan melukai belasan lainnya di Paniai, 8 Desember 2014 lalu. Demikian Kata Andreas Harsono, dilansir dari www.remotivi.or.id, Edisi: Jumat, (19/12/14) lalu.

Memang tak mengherankan bila informasi simpang siur di Papua. Di Enarotali hanya ada dua wartawan, masing-masing dari Selangkah dan Suara Papua, “Jelas mantan wartawan Bangkok Post. Melalui media.

Lanjutnya, Mereka bekerja dalam suasana menakutkan. Ada informasi dari mereka keliru, misalnya, kronologi terbalik. Di Nabire, ada seorang aktivis yang terlalu cepat mengirim email sehingga nama-nama keempat korban keliru. Namun dia sudah lakukan koreksi.

Masalah paling besar yang menyebabkan kesimpangsiuran ini adalah ketiadaan jurnalisme yang independen di Papua, baik media lokal, nasional, maupun internasional. Wartawan lokal banyak yang takut buat verifikasi. Wartawan media nasional, kalau tidak takut, banyak yang terkooptasi.

Bahkan ada yang bekerja sebagai informan, mata-mata (agen), atau aparat. Wartawan internasional dibatasi masuk ke Papua sejak 1960an. Mereka harus dapat persetujuan 18 instansi dalam clearing house di Kementerian Luar Negeri bila hendak meliput Papua, termasuk dari Badan Intelijen Negara maupun Badan Intelijen Strategis.

Pada 2011, sekitar 500 halaman dokumen militer, termasuk dari Kodam Cenderawasih maupun Kopassus, bocor. Ia berisi laporan harian, penyadapan telepon, pemantauan turis internasional maupun rekrutmen wartawan-wartawan di Jayapura, Wamena, dan lainnya buat bekerja mata-mata untuk Kopassus.

Kegiatan mereka adalah kasih informasi soal para aktivis, pemuda, tokoh gereja, dan lainnya. Memata-matai warga sendiri memang bukan kegiatan melanggar hukum, tapi hal itu merusak kepercayaan masyarakat terhadap media, “Kata, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen itu.

Macam-macam organisasi, termasuk Dewan Pers, juga Human Rights Watch, minta agar pembatasan terhadap jurnalisme yang independen dihentikan di Papua. Tanpa jurnalisme yang independen, maka tak ada cara buat warga memantau kekuasaan para pejabat, Tuturnya. (Jekson Ikomou)

Tidak ada komentar: