Dalam mekanisme lahirnya sebuah Undang-undang sebagai payung hukum atas
pedoman lahirnya kebijakan baru, maka, yang harus diperhatikan lebih
jauh adalah mekanisme lahirnya Undang-undang sampai pada keformalan
Undang-undag tersebut. Undang-undang tidak bisa lahir atas kepentingan
satu atau dua orang tertentu atau memakai nama Negara tanpa melewati
mekanisme formal lahirnya sebuah Undang-undang.
Lebih buruk lagi, dalam sistim Konstitusi, oknum atau kelompok orang
yang melahirkan sebuah produk hukum baru tanpa melalui prosedural baku,
tidak diberikan hukuman dan/atau sangsi hukum atas kebijakan yang
bertentangan dengan konstitusi. Tentu, jika ada efek jerah, maka semua
pemangku kebijakan akan takut dan hati-hati melakukan hal yang sifatnya
bertentangan dengan konstitusi. Sayangnya, hal yang berkaitan dengan
penyelewengan Konstitusi terkait dengan lahirnya produk hukum baru yang
bertentangan dengan konstitusi belum diatur dalam Konstitusi Negara
Indonesia
Otsus Plus sesungguhnya bertentangan
dengan Konstitusi Negara Indonesia. Otsus Plus Un-Konstitusi dikarenakan
dua hal, yakni: “Tidak melalui mekanisme Formal dan Tidak ada istilah
Otsus plus”.
1. Tidak melalui mekanisme Formal.
Sebuah Undang-undang
selalu lahir melalui mekanisme formal, melalui tahapan jejaring
informasi, sosialisasi, kesepakatan bersama, dan semua berdasarkan
kondisi objektif dari situasi yang terjadi dalam rangka protesi dan
pengembangan baik ekonomi, social, politik, budaya dan kesehatan
masyarakat setembat. Setelah jejaring, kemudian dilakukan penyaluran
aspirasi dari tingkatan terkecil, menengah dan atas, atas
rekomendasi-rekomendasi yang bersifat akuntabel dan olistik serta dapat
dipertanggungjawabkan bentuk penyalurannya.
Namun, Otsus plus ini, dilahirkan atas pemikiran Jakarta, kemudian atas otoritas Jakarta, Gubernur Papua dipengaruhi untuk menerima Otsus Plus dan memaksa gubernur untuk menindak lanjuti hal itu, walau sesungguhnya bertentangan dengan Konstitusi.
2. Tidak ada Istilah Otsus Plus dalam konstitusi dan Sistem Pemerintahan
Dalam Konstitusi dan khususnya dalam Pemerintahan di dunia mana pun,
Otonomi hanya ada dua istilah, yakni, Otonomu Khusus dan Otonomi
Daerah. Berdasarkan hal itu, maka, Istilah Otsus Plus yang dihebokan di
Papua sesungguhnya bertentangan dengan Konstitusi.
Sehingga, jika
hal itu tetap dipaksakan untuk dilaksanakan di Papua, maka, akan
mencederai Konstitusi Negara dan akan menjadi bahan lelucon semua pihak
di dunia, khususnya bagi mereka yang memahami Konstitusi. Dan
sesungguhnya, istilah Otsus Plus “Batal” demi Hukum. Jika kasus ini
hendak digugat di MK, maka, MK akan membatalkan Rancangan UU Otsus Plus
ini karena mencederai Konstitusi, walau, hal itu akan dipaksakan
dilakukan.
Satu contoh kasus Produk hukum yang bertentangan dengan Konstitusi
namun dipaksakan di Papua adalah “Impres No. 1 thn 2003”. Impres yang
lahir di jaman kepemimpinan Megawati Soekarno Putri tersebut, demi hukum
dibatalkan oleh MK, namun, dipaksakan jalan terus dan lahir dua
Propinsi baru di Papua, yakni Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah,
yang waktu itu, terjadi korban nyawa di Timika dan dipending pemekaran
Propinsi Irian Jaya Tengah, sementara Irian Jaya Barat tetap dijalankan
sistem Pemerintahannya.
Melihat beberapa contoh kasus lahirnya
beberapa Payung hukum yang bertentangan dengan Konstitusi namun tetap
dijalankan, maka, sesungguhnya telah merendahkan martabat Papua karena
di Papua, kebijakan yang dipaksakan hanya kebijakan Politik yang sudah
bertentangan dengan Hukum atau Konstitusi Negara.
Melihat hal itu, maka, kesadaran kritis harus lahir, tidak hanya dikalangan Masyarakat dan Pemuda, tapi juga harus lahir di kalangan pejabat, baik di Kabupaten maupun di Gubernur agar tidak ditipu dan dipermainkan oleh Jakarta untuk melaksanakan kebijakan yang bertentangan dengan Konstitusi. Sesungguhnya, Konstitusi sebuah Negara itu bukan untuk dilanggar tapi dipatuhi dan dijalankan berdasarkan Konstitusi yang berlaku.
Penulis: Pemerhati Kondisi Tanah Papua, Beliau Berdomisili di Holandia kini Jayapura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar