Minggu, 04 Mei 2014

NAPSU KEKUASAN, GEREJA DI JADIKAN OBJEK KEPENTINGAN

“Para Elit Politik di  Wilayah Mee-Pagoo Papua, jadikan Gereja sebagai objek  untuk mencari Kekuasan disela-sela bergulirnya Pesta Demokrasi ”
 


Oleh: Jackson Ikomouw*)

Kekuasan. FOTO:Ils
PESTA DEMOKRASI, biasanya dilaksanakan lima (5) tahun sekali. Untuk memilih  pemimpin di bangku eksekutif dan legislatif. Kesempatan tersebut rakyat lah penentu pembangunan di lima (5) tahun kemudian. Sebelum pelaksanaan Pemilu berlangsung, pasti tentunya seorang caleg menggong-gong komunikasi politik guna menarik perhatian publik dengan berbagai upaya. 

Namun dalam penulisan ini akan lebih membeberkan soal: Elit Politik di wilayah Mee-Pagoo jadikan Gereja  termpat Komunikasi Politik. Tentunya tidak terlepas juga dari money politik.

Money Politik di ajang pesta demokrasi adalah hal yang biasa dan/atau sering terjadi. Persoalan ini rupanya nampak di wilayah Mee-Pago, meliput: Kabupaten Paniai, Dogiay, Deiyai. 

Perhatihan para caleg hanya lebih dipusatkan terhadap Gereja-Gereja, untuk dipilih menjadi wakil rakyat. Ketika mencalonkan diri. Sering dan/atau sesekali para calon membantu dana guna menyukseskan kegiatan-kegiatan  yang dilaksanakan oleh gereja. 

Suatu ketika, saya ditelpon salah satu calon legislatif dari Kabupaten Deiyai. Beliau mengatakan, “Kemarin, saya sudah sumbang dana untuk kegiatan Musyawara Mee di Diyai, serta beberapa gereja di wilayah Kabupaten Deiyai pun  saya bantu. 

Namun, saya bertanya, “Beliau bantu dana sebesar itu harapan kedepan untuk apa ? Pache  menjawab, Untuk mencalonkan sebagai sebagai Ketua DPRD Kabupaten Deiyai, periode 2014-2019. Semua masyarakat saya sudah bayar, sekarang tinggal tunggu hari pelaksanaan, (9/4), “Kata seorang diri yang tidak ingin sebut namanya.

Tentunya, dana yang sempat dibantu oleh yang bersangkutan, tentu akan diumumkan saat pengumunan di Gereja terhadap umat. Oleh karenanya, Umat akan apresiasi atas bantuan yang diberikan kepada gereja, serta pasti akan berpartisipasi untuk memilih, ketika mencalon diri. Bahkan Sebagain suarakan tentu akan disisikan untuk memilih kepada yang bersangkutan. 

Sering saya jumpai, para elit politik di Kabupaten Paniai, Deiyai, dan Dogiay menunjukan eksitensinya di muka umat saat ibadah mingguan dengan berbagai cara. Persoalan ini benar-benar terjadi di beberapa gereja di wilayah Mee-Pagoo. 

Kadang gereja di jadikan tempat untuk komunikasi politik praktis para caleg. Namun, persoalan tersebut; umatlah yang membuka pintu untuk melakukan korupsi, Kolusi dan nepotisme (KKN). Semestinya, Gereja mengutamakan “keadilan dan kebenaran”.


Apa Nasib Umat,  5 Tahun Mendatang ?
Sayangnya; Katika, caleg tersebut menduduki di bangku legislatif, jika tidak memiliki kapasitas, intelektualitas, serta kemampuan maka aspirasi tidak akan disikapi dengan serius. Dan apabila terjadi kekerasan terhadap rakyat, tidak disikapi dengan serius guna untuk diselesaikan.

Jika rakyat protes soal pembiaran yang dilakukan oleh wakil rakyat, “pasti tentu” seorang anggota DPRD itu akan mengatakan, “Suara-suara yang saya peroleh bukan hati nurani dari rakyat, akan tetapi saya sudah bayar too, untuk apa menyoroti kinerja saya.

Jika memang persoalan pembiaran terjadi; Umat yang bersangkutan, menciptakan masala dari dalam gereja, “Syukurlah !!! jika ada anggota DPRD yang punya mata hati untuk membangun dan menikdaklanjuti aspirasi rakyat.

Harapan dan Rekomendasi
Baiknya, jika rakyat yang lebih perioritaskan bagi yang tidak terlibat dalam money politik. Dan lebih mengutakan kepetingan pembangunan, serta rakyat dewasa dan/atau sadar  dalam berpolitik. 

Untuk membangun kesadaran rakyat di wilayah mee-pago, perlu ada pendidikan politik dimasing-masing Kabupaten. Dan hal ini tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan PANWAS, serta LSM peduli pembangunan. Guna sosialisasi mengenai politik praktis di tingkat Kampung, Distrik, dan Kabupaten/Kota.




Penulisa adalah: Anak Papua asal Duamo. Kini berdomisili di Ibu Kota Negara Republik Pasundan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar