Selasa, 06 Mei 2014

MUSTAHIL PENCURI DI TANAH PAPUA MELINDUNGI PEMILIKNYA (Bagian II)

Oleh: Pengamat Soal Papua di Rusia*)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmQO1ZHM5iojE1Pogvgvlc4g4piP5DYC9fhM9I1odIwGGjkIvX_bJHUh4GK8uGZqem1m4UxVV4Q49cKLVvIcsurQSCO2lHCc76YbNz3WVHIc0dxOl08kiEeCkKPR0oa5g-e8drM9pPb6g/s1600/Mako_Tabuni.png
Alm. Tuan Mako.
Tanggapan-tanggapan pada posting tulisan ini Bagian Pertama menyatakan kesepahaman ide. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa kita perlu meminta tuntunan Tuhan untuk membimbing kelanjutan perjuangan Bangsa Papua. Terima kasih atas semua tanggapan

Pertanyaannya : apa kata Firman TUHAN tentang para pencuri tanah? “Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesama manusia. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata amin”. (Ulangan 27 : 17).

Jika kita mempercayai Alkitab sebagai Firman TUHAN, maka kita percaya pula bahwa para pengambil kebijakan Belanda, Indonesia dan Amerika telah terkutuk karena telah menggeser batas tanah Republik Indonesia (RI) sampai mencaplok Tanah Papua tanpa ijin dan persetujuan Bangsa Papua.

Pertanyaan berikut : jika Indonesia, Belanda dan Amerika telah terkutuk karena “menggeser batas Indonesia sampai mencaplok Tanah Papua”, apakah perjuangan Bangsa Papua akan diberkati jika upaya perjuangan difokuskan untuk mendapatkan pembelaan dari para pencuri terkutuk itu? Kisah Nabi Musa yang dipakai Allah membebaskan Bangsa Israel menunjukkan bahwa dia tidak bisa membebaskan bangsanya selama dia masih bekerja sama dengan Firaun yang menindas bangsa Israel. Dia harus keluar dari istana Firaun. Istana Firaun hanyalah tempat dia belajar.

 Tempat Musa mendapatkan top quality information dan mengembangkan akses untuk melakukan komunikasi ke decision maker. Bukan pusat perjuangan pembebasan bangsanya dari perbudakan. Pembebasan bangsanya baru bisa dilakukan ketika dia keluar dari istana, tidak lagi bekerja sama dengan Firaun dan kemudian menyampaikan perintah dan kutukan TUHAN atas Mesir, sampai kutukan ke-10 yakni kematian anak sulung.

Masalah pokok Bangsa Papua adalah menuntut keadilan akan pengembalian Tanah Papua yang sudah dicaplok dengan menggeser batas tanah Repoblik Indonesia sampai masuk mengambil Tanah Bangsa Papua. Tanah dan bangsa adalah ciptaan dan milik TUHAN yang hubungannya diatur di dalam adat negeri bangsa-bangsa pewaris. Manusia diberikan hak untuk mewarisi dan memelihara tanah dengan baik tanpa menggeser batas tanah dengan caplok mencaplok. Sekali lagi, TUHAN berfirman, “Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesama manusia. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata amin”. (Alkitab, Kitab Ulangan 27 : 17).

Sampai menjelang tahun 1960-an, Tanah Papua dicaplok menjadi koloni Kerajaan Belanda. Aneh bin ajaib, Kerajaan Belanda yg terletak di sepenggal tanah di Eropa sana bisa mengklaim menguasai Tanah Papua. Namun pada 1 Mei 1963, Tanah Papua direbut oleh pencaplok baru bernama Indonesia melalui konfrontasi militer (Trikora) plus diplomasi antara Indonesia dan Belanda. Lagi-lagi aneh bin ajaib, suatu pencaplokan tanpa persetujuan pemiliknya.

Sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera/Act of Free Choice) dilakukan di Tanah Papua pada tahun 1969, sejarah mencatat adanya pertemuan rahasia antara Menlu Belanda dan Menlu Indonesia di Roma di mana antara lain Menlu Belanda memberi jaminan kepada Menlu Indonesia bahwa Belanda tidak akan mengamati pelaksanaan Act of Free Choice.

Amerika Serikat ikut berkonspirasi dengan para pencuri dengan melegalkan pencurian ini. Diplomat US Ellswoth Bunker (bagaimana nasib Ellswoth Bunker, mudah-mudahan tidak bernasib tragis) pada 1962 merumuskan “The New York Agreement” yang disepakati dan ditanda-tangani Indonesia dan Belanda; perumusan maupun penanda-tanganannya tidak melibatkan orang Papua.

Perjanjian tersebut merupakan dasar hukum bagi para pencuri untuk melakukan permainan kotor mereka. Pertama, mereka menghilangkan Hak Bangsa Papua dalam hukum internasional sebagai bakal negara yang sedang dalam proses dekolonisasi. Kedua, perjanjian itu mengakhiri kekuasaan pencuri sebelumnya (yang bernama Kerajaan Belanda) dan menyerahkan Tanah Papua ke pemerintahan peralihan PBB (UNTEA) sebelum beralih ke pencuri baru bernama Republik Indonesia. Ketiga, perjanjian ini juga memaksa PBB mengakhiri masa tugas UNTEA di Papua pada tahun 1963 pada hal seharusnya tugas UNTEA berakhir pada tahun 1969 setelah terlaksana dan disahkannya Act of Free Choice. 

Situasi lowong ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi Indonesia untuk membunuh dan membungkam suara-suara rakyat Bangsa Papua dalam menuntut haknya. Keempat, perjanjian tersebut berhubungan erat dengan politik luar negeri Amerika untuk meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Lama yang sulit dikendalikan Amerika dan mendukung berdirinya rezim Orde Baru pro Barat (anti komunis) dengan imbalan konsesi pertambangan tembaga dan emas di Freeport Timika. (Bagaimana nasib Muffet, apakah dia bahagia di masa tuanya untuk menikmati emas dan tembaga yag dia rampok dari Tanah Papua di atas pengorbanan darah dan nyawa Bangsa Papua?). 

Konsesi ditanda-tangani pada tahun 1967 antara Indonesia dan Amerika pada hal secara internasional Papua baru menjadi “bagian legal” dari wilayah Indonesia pada pasca pengesahan Act opf Free Choice tahun 1969. Kelima, perjanjian tersebut telah memfasilitasi berbagai tindakan pelanggaran HAM dan pembantaian di Tanah Papua terkait dengan penolakan Bangsa Papua akan Act of Free Choice 1969 dan menyebabkan Majelis Umum PBB menyangkali semua Keputusan Hukum Internasional yang dibuat dalam rangka proses dekolonisasi Tanah Papua (Sekjen PBB masa itu mati tragis dalam kecelakaan pesawat). Keenam, perjanjian yang disponsori Amerika Serikat dan sekutunya itu mendorong resistensi Bangsa Papua sepanjang sejarah Indonesia di tanah ini dan mengakibatkan pelanggaran HAM berkepanjangan yang membasahi Tanah Papua dengan jiwa, darah, air mata dan doa Bangsa Papua.

Nasib akhir para decision makers yang menggeser batas tanah Indonesia hingga mencaplok Tanah Papua tragis. Soekarno, Presiden RI yang memerintahkan Tri Komando Rakyat untuk invasi Indonesia ke Tanah Papua selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963 tidak bisa menikmati hasil “perjuangannya”. Dia dibunuh secara politik dengan dipaksa mengakhiri hidupnya secara tragis sebagai tahanan rumah hanya 2 (dua) tahun setelah dia mencaplok Tanah Papua. Subandrio, sang penanda-tangan New York Agreement 1962 pun dibunuh secara politik dengan dijebloskan ke penjara oleh Rezim Orde Baru.

Presiden Amerika John F. Kennedy yang berperan sentral dalam proses politik untuk melegalkan pencaplokan Tanah Papua ditembak mati di Dallas pada 2 November 1963 hanya beberapa bulan sesudah penyerahan Tanah Papua kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.

Robert F. Kennedy, Jaksa Agung Amerika pada jaman pemerintahan Presiden John F. Kennedy -- kakaknya, mengalami nasib tragis yang tiada berbeda dengan sang kakak. Ia mati dibunuh pada 6 Juni 1968 dengan sebutir peluru yang ditembakkan dari telinga kanan menembus kepalanya tepat pada saat Indonesia melakukan persiapan Dewan Pepera untuk memenangkan proses pergeseran batas tanah Republik Indonesia untuk mencaplok Tanah Papua.

Presiden Soeharto, yang brilian sebagai ahli strategi militer, yang memimpin invansi Indonesia (Trikora) untuk mencaplok Tanah Papua, dipaksa turun dari jabatan Presiden RI yang diemban selama 30 tahun. Dia turun dari kemuliaan singgasana Presiden dalam kehinaan tepat pada saat umat Kristen merayakan kenaikan Tuhan Yesus ke surga (dalam kemuliaan). Mirip nasib Raja Nebukanezar dari Kerajaan Babilon Pencaplok Tanah Kanaan milik Israel yang dihina TUHAN dengan melengserkannya dari singgsana raja hingga menjalani kehidupan hina seperti seekor kambing yang makan rumput.

Beberapa pesan iman bisa ditarik dari catatan sejarah ini. Pesan pertama, seperti yang dilakukan Musa terhadap Firaun, lobby Papua perlu menyadarkan para pencuri itu bahwa proses menggeser batas tanah RI sampai mencaplok Tanah Papua yang dilakukan pemerintah mereka pada waktu lalu dalam Firman Tuhan dinyatakan sebagai tindakan terkutuk. Tuhan Yesus pada saat di kayu salib berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. “ Tindakan para pencuri untuk menggeser Tanah Papua telah mengakibatkan Bangsa Papua “disalib” dan menderita di bawah pemerintahan Indonesia . Selama para pelakunya tidak tahu apa yang mereka perbuat bagi Papua, mereka diampuni. Namun setelah mereka diberi tahu bahwa tindakan mereka adalah tindakan terkutuk menurut Firman TUHAN, maka sebaiknya mereka bertobat dan mengembalikan barang curian itu kepada pemilik sah. 

Jika mereka tidak bertobat maka mereka akan menanggung kutukan TUHAN. Mereka dan seluruh keturunan mereka. Ini bukanlah hal yang mustahil seperti seluruh Mesir menanggung kutukan TUHAN sebelum Israel dibebaskan.
Kita baru saja merayakan Paskah, sama seperti Yesus bangkit pada hari ketiga demikianlah Bangsa Papua akan dibebaskan pada Generasi Perjuangan Ketiga. Jika kita membandingkan penyaliban Tuhan Yesus Kristus dan sejarah Indonesia di Papua, kita akan menemukan beberapa persamaan. 

Persamaan Pertama, penyaliban Yesus dilakukan pada jaman pemerintahan Kekaisaran Romawi. Penyaliban Bangsa Papua dirancang di kota Roma melalui Roma Agreement – apakah bangsa dan negara di mana Kota Roma berada saat ini sedang bahagia? Yesus dikhianati Yudas Iskariot, Bangsa Papua dikhianati pemerintah Belanda yang melalui peran Menlu Luns. (Apakah Luns tidak mengalami nasib tragis?) Imam Besar Kayafas yang menuntut hukuman mati atas Yesus pada kasus Papua diperankan oleh Presiden Soekarno dengan Trikora-nya. Menurut teolog dan sejarawan Yahudi – Esebius dari Kaesarea – setelah menyalibkan Yesus maka Pontius Pilatus mati bunuh diri. Pontius Pilatus dalam penyaliban bangsa Papua diperankan oleh Presiden John F. Kennedy yang sesudahnya telah mati ditembak. Herodes diperankan oleh Robert F. Kennedy (Jaksa Agung, adik JFK). 

Robert mengalami nasib seperti kakaknya JFK – mati ditembak. Ada seorang penjahat Amerika bernama Allan Pupe yang dibebaskan Soekarno dan dia menyalibkan Bangsa Papua sama seperti Barabas si Penjahat dibebaskan dan Yesus disalibkan. Kemudian hari nasib Presiden Soekarno, Menlu Subandrio, dan Presiden Soeharto berujung tragis dalam kehinaan – dibunuh secara politik. Persamaan Kedua, Pada Hari Pertama, Yesus Sang Individu Ilahi disiksa dan disalib untuk menyelamatkan dosa dunia. Bangsa Papua (kolektif) disalibkan pada masa Generasi Perjuangan Pertama untuk menyelamatkan dunia dari Perang Dunia III antara blok Barat melawan komunis (Blok pimpinan Uni Sovyet). 

Yesus disiksa, mati pada hari I dan dikuburkan sampai hari II. Bangsa Papua disiksa pada sejak Generasi Perjuangan I dan sampai Generasi Perjuangan II mengalami berbagai bentuk pelanggaran HAM berat dan genosida. Generasi Pejuang Papua II mengungkap berbagai pelanggaran HAM di mana Bangsa Papua berjuang melawan genosida dan berbagai pelanggaran HAM berat . Yesus bangkit pada hari ketiga. Tanda-tanda kebangkitan Bangsa Papua mulai tampak pada Generasi Perjuangan III ketika nama Papua dikembalikan dan ketika Bendera Papua boleh dikibarkan. Namun Kebangkitan Bangsa Papua belum mencapai kesempurnaan. 

Kesempurnaan kebangkitan Bangsa Papua akan terjadi jika “Seluruh bangsa mengatakan amin.” (Ulangan 27 : 17 b). Generasi Perjuangan Papua III adalah Generasi Papua Bangkit untuk Mandiri (seperti visi Gubernur Lukas Enembe dari Provinsi Papua saat ini). Generasi yang harus menyampaikan kutukan Allah kepada para pencuri Tanah Papua sampai mereka bertobat dan mengembalikan Tanah Papua kepada pemiliknya agar Bangsa Pemilik Tanah Papua dipulihkan dan bangkit untuk memuliakan TUHAN di tanah yang diberikan TUHAN kepada mereka.

Apakah gereja-gereja di Roma (tempat Roma Agreement dibuat), Amerika, Belanda dan Indonesia bisa di-Injili untuk meng-Injili pemerintah dan bangsa mereka bahwa tindakan yang sudah mereka lakukan untuk menggeser batas tanah Republik Indonesia sampai mencaplok Tanah Papua adalah tindakan yang terkutuk? Apakah Gereja-Gereja di Papua, Vanuatu, PNG, Australia, Selandia Baru dll bisa membantu Bangsa Papua menyampaikan berita mengenai kutukan TUHAN ini kepada Belanda, Indonesia dan Amerika? Apakah gereja-gereja dari bangsa-bangsa yang pernah abstain dalam penetapan nasib Bangsa Papua di PBB Tahun 1969 bisa di-Injili untuk memberi kesaksian bahwa “perbuatan orang yang menggeser batas tanah sesama manusia adalah terkutuk”? Apakah pemerintah dari bangsa-bangsa yang tidak ikut merampok kekayaan alam Tanah Papua di atas penderitaan Bangsa Papua bisa diinjili untuk mendorong pengembalian batas Tanah Papua ke titik yang adil bagi Bangsa Papua?

Kedua, “Seluruh bangsa Itu harus berkata amin”. Seluruh Bangsa Papua sebagai pewaris Tanah Papua haruslah berkata “amin”. Artinya Papua harus tampil sebagai satu bangsa. Hal-hal mengenai sukuisme, perpecahan politik, paham gunung vs pantai dan sebagainya harus diatasi agar Papua mampu berkata amin sebagai satu bangsa. Kedua, berkata amin artinya mengakui bahwa perwujudan kutuk kepada para pencaplok tanah itu adalah hak Tuhan. Tuhan akan mengatur segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Tugas bangsa Papua adalah mengimani dan melakukan Firman TUHAN. 

Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati. Ketiga, berkata amin berarti menyungguhkan bahwa tindakan menggeser batas tanah adalah tindakan terkutuk artinya bangsa Papua harus satu hati dan iman pada pokok persoalan Bangsa Papua saja. Bangsa Papua tidak usah melakukan dosa yang sama untuk menggeser batas Tanah Papua sampai hendak menguasai seluruh Melanesia (apakah ini missi faksi Bendera Bintang 14?). 

Bangsa Papua harus fokus untuk mendapatkan keadilan atas haknya saja (Bendera Bintang I). Pertanyaannya : apakah gereja-gereja di Papua bisa mendorong Bangsa Papua ini untuk berkata amin bahwa tindakan menggeser batas tanah Republik Indonesia sehingga mencaplok Tanah Papua adalah tindakan yang menurut Firman Allah “terkutuk”? Apakah para pemimpin faksi-faksi dalam perjuangan Bangsa Papua (faksi Bendera Bintang 14 dan faksi Bendera Bintang I) bisa bersatu dalam berkata amin bahwa persoalan Bangsa Papua adalah persoalan dicaploknya Tanah Papua saja dan bukan Tanah Bangsa Melanesia? Apakah suku-suku di Papua dan para tokoh perjuangan Papua bisa bersatu sebagai satu bangsa untuk mengatakan amin?

“Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesama manusia. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata amin”. (Ulangan 27 : 17). Imani dan lakukanlah Firman TUHAN, Dia akan mengatur segalanya indah pada waktunya, pun bagi Bangsa Papua. [HABIS]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar